Rabu, 27 April 2011

Biografi Al-Habib ‘Umar bin Hafiz

Al-Imam Al-’Arifbillah Al-Musnid Al-Hafizh Al-Mufassir Al-Habib Umar bin Muhammad bin Hafidh.  Beliau adalah al-Habib ‘Umar putera dari Muhammad putera dari Salim putera dari Hafiz putera dari Abd-Allah putera dari Abi Bakr putera dari‘Aidarous putera dari al-Hussain putera dari al-Shaikh Abi Bakr putera dari Salim putera dari ‘Abd-Allah putera dari ‘Abd-al-Rahman putera dari ‘Abd-Allah putera dari al-Shaikh ‘Abd-al-Rahman al-Saqqaf putera dari Muhammad Maula al-Daweela putera dari ‘Ali putera dari ‘Alawi putera dari al-Faqih al-Muqaddam Muhammad putera dari ‘Ali putera dari Muhammad Sahib al-Mirbat putera dari ‘Ali Khali‘ Qasam putera dari ‘Alawi putera dari Muhammad putera dari ‘Alawi putera dari ‘Ubaidallah putera dari al-Imam al-Muhajir to Allah Ahmad putera dari ‘Isa putera dari Muhammad putera dari ‘Ali al-‘Uraidi putera dari Ja’far al-Sadiq putera dari Muhammad al-Baqir putera dari ‘Ali Zain al-‘Abidin putera dari Hussain sang cucu laki-laki, putera dari pasangan ‘Ali putera dari Abu Talib dan Fatimah al-Zahra puteri dari Rasul Muhammad s.a.w.  Beliau terlahir di Tarim, Hadramaut, salah satu kota tertua di Yaman yang menjadi sangat terkenal di seluruh dunia dengan berlimpahnya para ilmuwan dan para alim ulama yang dihasilkan kota ini selama berabad-abad. Beliau dibesarkan di dalam keluarga yang memiliki tradisi keilmuan Islam dan kejujuran moral dengan ayahnya yang adalah seorang pejuang martir yang terkenal, Sang Intelektual, Sang Da’i Besar, Muhammad bin Salim bin Hafiz bin Shaikh Abu Bakr bin Salim. Ayahnya adalah salah seorang ulama intelektual Islam yang mengabdikan hidup mereka demi penyebaran agama Islam dan pengajaran Hukum Suci serta aturan-aturan mulia dalam Islam. Beliau secara tragis diculik oleh kelompok komunis dan diperkirakan telah meninggal, semoga Allah mengampuni dosa-dosanya. Demikian pula kedua kakek beliau, al-Habib Salim bin Hafiz dan al-Habib Hafiz bin Abd-Allah yang merupakan para intelektual Islam yang sangat dihormati kaum ulama dan intelektual Muslim pada masanya. Allah seakan menyiapkan kondisi-kondisi yang sesuai bagi al-Habib ‘Umar dalam hal hubungannya dengan para intelektual muslim disekitarnya serta kemuliaan yang muncul dari keluarganya sendiri dan dari lingkungan serta masyarakat dimana ia dibesarkan.
Beliau telah mampu menghafal Al Qur’an pada usia yang sangat muda dan ia juga menghafal berbagai teks inti dalam fiqh, hadith, Bahasa Arab dan berbagai ilmu-ilmu keagamaan yang membuatnya termasuk dalam lingkaran keilmuan yang dipegang teguh oleh begitu banyaknya ulama-ulama tradisional seperti Muhammad bin ‘Alawi bin Shihab dan al-Shaikh Fadl Baa Fadl serta para ulama lain yang mengajar di Ribat, Tarim yang terkenal itu. Maka beliau pun mempelajari berbagai ilmu termasuk ilmu-ilmu spiritual keagamaan dari ayahnya yang meninggal syahid, al-Habib Muhammad bin Salim, yang darinya didapatkan cinta dan perhatiannya yang mendalam pada da’wah dan bimbingan atau tuntunan keagamaan dengan cara Allah s.w.t. Ayahnya begitu memperhatikan sang ‘Umar kecil yang selalu berada di sisi ayahnya di dalam lingkaran ilmu dan dhikr.
Namun secara tragis, ketika al-Habib ‘Umar sedang menemani ayahnya untuk sholat Jum‘ah, ayahnya diculik oleh golongan komunis, dan sang ‘Umar kecil sendirian pulang ke rumahnya dengan masih membawa syal milik ayahnya, dan sejak saat itu ayahnya tidak pernah terlihat lagi. Ini menyebabkan ‘Umar muda menganggap bahwa tanggung jawab untuk meneruskan pekerjaan yang dilakukan ayahnya dalam bidang Da‘wah sama seperti seakan-akan syal sang ayah menjadi bendera yang diberikan padanya di masa kecil sebelum beliau mati syahid. Sejak itu, dengan sang bendera dikibarkannya tinggi-tinggi, ia memulai, secara bersemangat, perjalanan penuh perjuangan, mengumpulkan orang-orang, membentuk Majelis-majelis dan da’wah. Perjuangan dan usahanya yang keras demi melanjutkan pekerjaan ayahnya mulai membuahkan hasil. Kelas-kelas mulai dibuka bagi anak muda maupun orang tua di mesjid-mesjid setempat dimana ditawarkan berbagai kesempatan untuk menghafal Al Qur’an dan untuk belajar ilmu-ilmu tradisional.
Ia sesungguhnya telah benar-benar memahami Kitab Suci sehingga ia telah diberikan sesuatu yang khusus dari Allah meskipun usianya masih muda. Namun hal ini mulai mengakibatkan kekhawatiran akan keselamatannya dan akhirnya diputuskan beliau dikirim ke kota al-Bayda’ yang terletak di tempat yang disebut Yaman Utara yang menjadikannya jauh dari jangkauan mereka yang ingin mencelakai sang sayyid muda.
Disana dimulai babak penting baru dalam perkembangan beliau. Masuk sekolah Ribat di al-Bayda’ ia mulai belajar ilmu-ilmu tradisional dibawah bimbingan ahli dari yang Mulia al-Habib Muhammad bin ‘Abd-Allah al-Haddar, semoga Allah mengampuninya, dan juga dibawah bimbingan ulama mazhab Shafi‘i al-Habib Zain bin Sumait, semoga Allah melindunginya. Janji beliau terpenuhi ketika akhirnya ia ditunjuk sebagai seorang guru tak lama sesudahnya. Ia juga terus melanjutkan perjuangannya yang melelahkan dalam bidang Da‘wah.
Kali ini tempatnya adalah al-Bayda’ dan kota-kota serta desa-desa disekitarnya. Tiada satu pun yang terlewat dalam usahanya untuk mengenalkan kembali cinta kasih Allah dan Rasul-Nya s.a.w pada hati mereka seluruhnya. Kelas-kelas dan majelis didirikan, pengajaran dimulai dan orang-orang dibimbing. Usaha beliau yang demikian gigih menyebabkannya kekurangan tidur dan istirahat mulai menunjukkan hasil yang besar bagi mereka tersentuh dengan ajarannya, terutama para pemuda yang sebelumnya telah terjerumus dalam kehidupan yang kosong dan dangkal, namun kini telah mengalami perubahan mendalam hingga mereka sadar bahwa hidup memiliki tujuan, mereka bangga dengan indentitas baru mereka sebagai orang Islam, mengenakan sorban/selendang Islam dan mulai memusatkan perhatian mereka untuk meraih sifat-sifat luhur dan mulia dari Sang Rasul Pesuruh Allah s.a.w.
Sejak saat itu, sekelompok besar orang-orang yang telah dipengaruhi beliau mulai berkumpul mengelilingi beliau dan membantunya dalam perjuangan da‘wah maupun keteguhan beliau dalam mengajar di berbagai kota besar maupun kecil di Yaman Utara. Pada masa ini, beliau mulai mengunjungi banyak kota-kota maupun masyarakat diseluruh Yaman, mulai dari kota Ta’iz di utara, untuk belajar ilmu dari mufti Ta‘iz al-Habib Ibrahim bin Aqil bin Yahya yang mulai menunjukkan pada beliau perhatian dan cinta yang besar sebagaimana ia mendapatkan perlakuan yang sama dari Shaikh al-Habib Muhammad al-Haddar sehingga ia memberikan puterinya untuk dinikahi setelah menyaksikan bahwa dalam diri beliau terdapat sifat-sifat kejujuran dan kepintaran yang agung.
Tak lama setelah itu, beliau melakukan perjalanan melelahkan demi melakukan ibadah Haji di Mekkah dan untuk mengunjungi makam Rasul s.a.w di Madinah. Dalam perjalanannya ke Hijaz, beliau diberkahi kesempatan untuk mempelajari beberapa kitab dari para ulama terkenal disana, terutama dari al-Habib ‘Abdul Qadir bin Ahmad al-Saqqaf yang menyaksikan bahwa di dalam diri ‘Umar muda, terdapat semangat pemuda yang penuh cinta kepada Allah dan Rasul-Nya s.a.w dan sungguh-sungguh tenggelam dalam penyebaran ilmu dan keadilan terhadap sesama umat manusia sehingga beliau dicintai al-Habib Abdul Qadir salah seorang guru besarnya. Begitu pula beliau diberkahi untuk menerima ilmu dan bimbingan dari kedua pilar keadilan di Hijaz, yakni al-Habib Ahmed Mashur al-Haddad dan al-Habib ‘Attas al-Habashi.
Sejak itulah nama al-Habib Umar bin Hafiz mulai tersebar luas terutama dikarenakan kegigihan usaha beliau dalam menyerukan agama Islam dan memperbaharui ajaran-ajaran awal yang tradisional. Namun kepopuleran dan ketenaran yang besar ini tidak sedikitpun mengurangi usaha pengajaran beliau, bahkan sebaliknya, ini menjadikannya mendapatkan sumber tambahan dimana tujuan-tujuan mulia lainnya dapat dipertahankan. Tiada waktu yang terbuang sia-sia, setiap saat dipenuhi dengan mengingat Allah dalam berbagai manifestasinya, dan dalam berbagai situasi dan lokasi yang berbeda. Perhatiannya yang mendalam terhadap membangun keimanan terutama pada mereka yang berada didekatnya, telah menjadi salah satu dari perilaku beliau yang paling terlihat jelas sehingga membuat nama beliau tersebar luas bahkan hingga sampai ke Dunia Baru.
Negara Oman akan menjadi fase berikutnya dalam pergerakan menuju pembaharuan abad ke-15. Setelah menyambut baik undangan dari sekelompok Muslim yang memiliki hasrat dan keinginan menggebu untuk menerima manfaat dari ajarannya, beliau meninggalkan tanah kelahirannya dan tidak kembali hingga beberapa tahun kemudian. Bibit-bibit pengajaran dan kemuliaan juga ditanamkan di kota Shihr di Yaman timur, kota pertama yang disinggahinya ketika kembali ke Hadramaut, Yaman. Disana ajaran-ajaran beliau mulai tertanam dan diabadikan dengan pembangunan Ribat al-Mustafa. Ini merupakan titik balik utama dan dapat memberi tanda lebih dari satu jalan, dalam hal melengkapi aspek teoritis dari usaha ini dan menciptakan bukti-bukti kongkrit yang dapat mewakili pengajaran-pengajaran di masa depan.
Kepulangannya ke Tarim menjadi tanda sebuah perubahan mendasar dari tahun-tahun yang ia habiskan untuk belajar, mengajar, membangun mental agamis orang-orang disekelilingnya, menyebarkan seruan dan menyerukan yang benar serta melarang yang salah. Dar-al-Mustafa menjadi hadiah beliau bagi dunia, dan di pesantren itu pulalah dunia diserukan. Dalam waktu yang dapat dikatakan demikian singkat, penduduk Tarim akan menyaksikan berkumpulnya pada murid dari berbagai daerah yang jauh bersatu di satu kota yang hampir terlupakan ketika masih dikuasai para pembangkang komunis. Murid-murid dari Indonesia, Malaysia, Singapura, Kepulauan Comoro, Tanzania, Kenya, Mesir, Inggris, Pakistan, Amerika Serikat dan Kanada, juga negara-negara Arab lain dan negara bagian di Arab akan diawasi secara langsung oleh Habib Umar. Mereka ini akan menjadi perwakilan dan penerus dari apa yang kini telah menjadi perjuangan asli demi memperbaharui ajaran Islam tradisional di abad ke-15 setelah hari kebangkitan. Berdirinya berbagai institusi Islami serupa di Yaman dan di negara-negara lain dibawah manajemen al-Habib Umar akan menjadi sebuah tonggak utama dalam penyebaran Ilmu dan perilaku mulia serta menyediakan kesempatan bagi orang-orang awam yang kesempatan tersebut dahulunya telah dirampas dari mereka.
Habib ‘Umar kini tinggal di Tarim, Yaman dimana beliau mengawasi perkembangan di Dar al-Mustafa dan berbagai sekolah lain yang telah dibangun dibawah manajemen beliau. Beliau masih memegang peran aktif dalam penyebaran agama Islam, sedemikian aktifnya sehingga beliau meluangkan hampir sepanjang tahunnya mengunjungi berbagai negara di seluruh dunia demi melakukan kegiatan-kegiatan mulianya.

Senin, 25 April 2011

Habib Ali bin Abdurrahman Assegaf dan Habib Alwi bin Utsman Bin Yahya: Pembuka Dinding Pemisah dengan Allah

"Namun apabila umat Muhammad sudah berpuasa sampai memutih bibir-bibir mereka karena haus… Aku angkat dinding itu ketika mereka sedang berbuka puasa, sehingga pada saat itu Aku lebih dekat dengan mereka daripadamu.”

Habib Ali bin Abdurrahman Assegaf dan Habib Alwi bin Utsman Bin Yahya: Pembuka Dinding Pemisah dengan Allah

"Namun apabila umat Muhammad sudah berpuasa sampai memutih bibir-bibir mereka karena haus… Aku angkat dinding itu ketika mereka sedang berbuka puasa, sehingga pada saat itu Aku lebih dekat dengan mereka daripadamu.”

Sore itu, Kamis (26/8), langit Jakarta cerah bertaburkan mega putih yang menghiasi setiap sudutnya. Angin sepoi menerpa lembut debu-debu jalanan hingga beterbangan menerpa roda-roda kendaraan yang melaju kencang menuju tujuannya masing-masing.

Sepasang tenda yang terpasang rapi di depan kantor alKisah telah siap menyambut kedatangan para jama’ah yang hendak menghadiri majelis Zawiyah alKisah, kegiatan ta`lim bulanan yang rutin digelar di kantor alKisah.

Namun, ada yang istimewa pada pelaksanaan zawiyah kali ini, karena berbarengan dengan kegiatan berbuka puasa bersama. Selain itu, majelis kali ini pun dihadiri dua orang guru yang selalu dirindukan para muhibbin Jakarta. Yakni Habib Ali bin Abdurrahman Assegaf, putra Walid Habib Abdurrahman bin Ahmad Assegaf, dan Habib Alwi bin Utsman Bin Yahya, cicit Guru Agung Jakarta, Habib Utsman Bin Yahya, mufti Betawi.

Menjelang azan ashar berkumandang, beberapa jama’ah sudah terlihat mulai berdatangan. Senandung Asmaul Husna dan syair-syair Burdah di dalam majelis terdengar merdu dan meresap ke dalam qalbu setiap jama’ah yang memasuki ruangan. Mereka terlihat membuat kelompok-kelompok kecil, saling bercakap-cakap dan bercengkerama riang sembari memandangi pohon-pohon palem yang berjejer memutari pancuran wudhu, di sisi kanan kantor, dan dahannya bergoyang, menari-nari kecil tertiup angin.
Pukul 16.00 jama’ah sudah memadati majelis. Pembawa acara pun membuka majelis dengan pembacaan surah Al-Fatihah, dilanjutkan dengan Wirdul Lathif, wiridan lazim majelis Zawiyah alKisah.

Memasuki akhir pembacaan Wirdul Lathif, Habib Alwi bin Utsman Bin Yahya terlihat memasuki majelis. Dengan senyum sumringah ia memberikan isyarat penghormatan kepada segenap jama’ah yang kemudian disambut pula dengan senyum gembira dan lega dari jama’ah.

Usai pembacaan Wirdul Lathif, Habib Alwi pun mulai menuturkan taushiyahnya, menjelaskan hal-ihwal berkaitan dengan puasa.    

Allah Yang Menutupi

"Rasulullah SAW bersabda, 'Berapa banyak orang yang berpuasa tapi tidak mendapatkan dari puasanya itu selain lapar dan dahaga.'

Makna hadits ini, berapa banyak orang yang berpuasa tetapi tidak mendapatkan pahala dari puasanya karena melakukan hal-hal yang menghilangkan pahala puasa.

Di antara hal-hal yang dapat membatalkan pahala puasa adalah sebagaimana disebutkan dalam sabda Nabi SAW, ‘Lima hal yang dapat membatalkan puasa (pahalanya), yaitu ghibah, namimah (adu domba), dusta, memandang dengan syahwat, dan sumpah palsu.’

Selain itu yang juga dapat menghilangkan pahala puasa ialah riya’ dan ujub, ingin disanjung orang lain dan merasa lebih istimewa dibandingkan orang lain.

Diceritakan, suatu hari Syaikh Abdul Qadir Al-Jilani mengundang orang-orang untuk suatu jamuan di kediamannya. Di antara orang-orang yang diundang itu terdapat seorang yang tengah menjalankan ibadah puasa sunnah.

Syaikh Abdul Qadir kemudian mempersilakan tetamunya untuk menyantap hidangan yang telah disediakan, termasuk yang tengah berpuasa itu.

Namun orang itu enggan untuk membatalkan puasa sunnahnya.

Melihat hal itu, Syaikh berkata, ‘Batalkanlah puasamu dan makanlah hidangan yang ada. Aku menjamin di hadapan Allah puasamu hari ini diterima di sisi-Nya.’

Orang itu tetap enggan untuk membatalkan puasanya.

Syaikh berkata lagi, ‘Batalkanlah puasamu dan makanlah hidangan yang ada. Aku menjamin satu bulan puasamu diterima di sisi Allah SWT.’

Orang itu tetap juga enggan membatalkan puasanya, tidak menghiraukan kata-kata Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani.

Kemudian Syaikh berkata lagi, ‘Batalkanlah puasamu dan makanlah hidangan yang ada. Aku menjamin satu tahun puasamu diterima di sisi Allah SWT.’

Meski Syaikh telah berkata untuk ketiga kalinya, orang itu tetap tidak juga menghiraukan ucapannya.

Syaikh kemudian berkata, ‘Biarkanlah orang yang jauh dari pandangan Allah ini.’

Beberapa waktu setelah terjadinya peristiwa tersebut, terdengar berita bahwa orang itu keluar dari Islam, menggadaikan imannya. Wal`iyadzu billah.

Demikianlah di antara pelajaran yang dapat diambil dari besarnya bahaya sifat riya’ dan ujub bila ada pada diri seseorang. Orang tersebut bahkan tidak lagi mengindahkan ucapan para kekasih Allah sekalipun. Padahal Nabi SAW pernah bersabda, ‘Hati-hatilah terhadap firasat orang mukmin, karena sesungguhnya ia melihat dengan cahaya Allah.’

Hal lain yang juga membatalkan pahala puasa adalah makanan yang haram. Itulah sebabnya, dikisahkan, Imam Sufyan Ats-Tsauri, bila datang waktu berbuka, ia berbuka dengan air hujan, dan bila tidak menemukannya, ia berbuka dengan air sungai yang mengalir secara alami, tidak digali oleh penguasa.

Nabi SAW bersabda, "Apabila engkau berpuasa, hendaklah engkau perhatikan dengan apa engkau berbuka dan pada siapa pula engkau berbuka." Maksudnya kita harus memperhatikan makanan yang hendak kita makan, dan bila kita diberi kesempatan untuk berbuka puasa pada seseorang yang kita yakini betul kehalalan makanannya, disunnahkan untuk berbuka padanya, karena hal itu bagian dari apa yang dianjurkan oleh Nabi SAW.

Adapun di antara keistimewaan puasa adalah bahwa puasa termasuk ibadah yang tetap dimiliki oleh orang yang melakukannya dan tidak dan tidak diberikan kepada orang lain yang dizhaliminya, seperti yang dijelaskan dalam sebuah hadits Nabi SAW, beliau bertanya kepada para sahabat, 'Tahukah kalian tentang orang yang bangkrut?'

‘Wahai Rasulullah, mereka dalam pandangan kami adalah orang yang tak punya satu dirham pun dan tak punya barang atau harta,' jawab sahabat.

Al-muflis, atau orang yang bangkrut itu, bukan demikian, melainkan orang yang datang pada hari Kiamat dengan membawa (pahala amal) kebaikannya sebesar gunung. Namun, ia pernah menganiaya, menempeleng, dan melanggar kehormatan orang lain. Lalu mereka (pihak-pihak yang dizhalimi) mengambil seluruh kebaikannya (untuk menutupi dosa-dosa keburukan mereka), sedangkan ia menerima (dosa-dosa) keburukan mereka (yang telah dizhaliminya) untuk ditanggungnya. Lalu ia benar-benar dilemparkan dengan keras ke neraka,' jawab Nabi SAW menjelaskan.

Para ulama menerangkan, makna firman Allah dalam hadits qudsi ‘sedangkan puasa adalah milik-Ku’ adalah bahwa puasa tidak termasuk dari ibadah yang akan diberikan kepada orang lain yang dizhaliminya di akhirat nanti sebagaimana dalam hadits di atas. Bahkan bilamana pahala ibadah orang tersebut tidak mencukupi untuk menutupi kezhalimannya terhadap orang lain, Allah langsung yang akan menutupi kekurangannya. Demikianlah keistimewaan puasa bagi umat Baginda Nabi Muhammad SAW.”

Besarnya Nilai Syahadat
Setelah mendengar penjelasan Habib Alwi, beberapa jama’ah terlihat antusias untuk bertanya. Termasuk Pemimpin Redasi alKisah, Habib Harun Musawa.

"Habib, apakah menganjurkan orang lain untuk menghormati kita yang berpuasa, bahkan ada yang melakukannya dengan tindakan tegas, termasuk bagian dari riya’ dan ujub?" tanya Habib Harun Musawa, yang juga diikuti anggukan beberapa jama’ah, yang mungkin juga ingin menanyakan hal yang sama.

"Menganjurkan orang lain untuk menghormati kita yang berpuasa, insya Allah tidak termasuk bagian dari riya’ dan ujub. Karena hal itu bukan untuk pribadi kita, melainkan bertujuan untuk memberikan pelajaran dan peringatan kepada masyarakat untuk saling menghormati dan menghargai sesamanya yang sedang dalam menjalankan ibadah,” jawab Habib Alwi.

Menjelang pukul 17.00, jama’ah mulai terlihat gelisah, karena Habib Ali bin Abdurrahman Assegaf, yang tengah ditunggu-tunggu, belum juga kunjung datang, padahal sebelumnya sudah terdengar kabar bahwa ia sudah berada di perjalanan mendekati kantor alKisah.

Pukul 17.30, terdengar kembali kabar bahwa Habib Ali terjebak macet di depan Polsek Matraman dan dipastikan tidak dapat melanjutkan perjalanan menuju alKisah.

Akhirnya tim memutuskan untuk mendengarkan taushiyah Habib Ali melalui saluran seluler, karena jama’ah sudah sangat merindukan taushiyahnya.

"Ramadhan adalah kemuliaan dan anugerah yang sangat besar dari Allah bagi umat Nabi Muhammad SAW. Hal ini dapat dipahami, salah satunya, dari dialog yang dilakuakn Nabi Musa AS dengan Allah melalui riwayat yang datang dari Nabi SAW.

Nabi Musa AS bertanya kepada Allah SWT, 'Ya Allah, apakah ada seorang manusia yang Engkau muliakan seperti Engkau memuliakan diriku, Engkau anugerahi aku dapat berdialog langsung dengan Engkau?'

Allah SWT menjawab, 'Wahai Musa, Aku benar berdialog denganmu. Akan tetapi ada jarak pemisah antara Engkau dan Aku sebanyak tujuh puluh ribu dinding cahaya. Namun apabila umat Muhammad sudah berpuasa sampai memutih bibir-bibir mereka karena haus dan menguning warna kulit mereka karena kurang tidur oleh banyaknya bangun malam, membaca Al-Quran, dan shalat Tahajjud, Aku angkat dinding itu ketika mereka sedang berbuka puasa, sehingga pada saat itu Aku lebih dekat dengan mereka daripada engkau.’

Itulah sebabnya, seorang sahabat Nabi SAW yang bernama Abdullah bin Umar bila hendak berbuka puasa dia kumpulkan keluarganya dan mengajak mereka untuk membaca 'Asyhadu alla ilaha illallah, astaghfirullah, Nas-alukal jannata wan a-`udzu bika minannar (Aku bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah, aku memohon ampunan kepada Allah, kami memohon surga kepada-Mu, dan kami berlindung kepada-Mu dari api neraka).'

Hal itu berdasarkan tuntunan dari Rasulullah SAW, beliau bersabda, 'Perbanyaklah padanya (pada saat menjelang berbuka puasa) empat hal, dua hal membuat Allah senang dan dua hal lagi kalian butuh kepadanya. Dua hal pertama, yaitu membaca syahadat dan memohon ampunan kepada-Nya, dan dua hal lagi, yaitu permohonan surga dan permohonan agar dihindarkan dari neraka-Nya.'

Suatu ketika setelah terjadinya Perang Khaibar, ketika Nabi SAW dan para sahabat tengah duduk-duduk istirahat di suatu temapat, tiba-tiba ada seseorang bertubuh hitam legam dengan pakaian yang lusuh datang dari kejauhan hendak menghampiri.

Para sahabat hendak mencegah orang tersebut mendekati Nabi SAW karena dalam keadaan darurat perang. Namun beliau memberi isyarat agar membiarkan orang itu mendekat.

Lalu orang itu berteriak dengan lantang, "Di mana Muhammad, nabi orang Arab?"

"Aku adalah nabi sekalian umat manusia?" jawab Nabi SAW dengan nada penuh wibawa.

"Apakah untungnya bila aku masuk ke dalam agamamu?" tanya orang itu lagi.
"Engkau akan mendapatkan surga," jawab Nabi lagi.

Orang itu kemudian mendekat kepada Nabi SAW.

Para sahabat pun menutup hidung mereka karena bau yang menusuk hidung yang berasal dari tubuh orang itu. Tapi tidak demikian dengan Nabi SAW.
Kemudian orang itu pun mengucapkan dua kalimah shahadat di hadapan Rasulullah SAW.

Setelah itu Nabi bertanya tentang pekerjaannya.

Orang itu menjelaskan bahwa ia bekerja sebagai penggembala kambing seorang Yahudi, namun ia menyatakan tidak akan pernah lagi menjadi penggembala kambing tetapi akan menjadi pembela agama Rasulullah SAW dan pembela setia beliau.

Nabi kemudian menyuruhnya untuk mengembalikan kambing-kambing gembalaannya kepada pemilikinya. Nabi pun membantu orang itu untuk mengembalikan kambing-kambing itu kepada pemilikinya. Beliau mengambil sedikit pasir dan menaburkannya di atas kepala kambing yang paling besar sehingga kambing-kambing itu pun kembali ke kandangnya masing-masing.

Di tengah perjalanan menuju Madinah, beberapa Yahudi yang sudah ditundukkan di Khaibar menggunakan sisa-sisa senjata mereka untuk menyerang pasukan Islam. Tiba-tiba sebusur anak panah melesit dari arah yang tidak terduga dan tepat menghunjam dada orang yang baru saja masuk Islam itu hingga tewas.

Setelah berhasil melumpuhkan segelintir penyerang Yahudi yang datang secara tiba-tiba, para sahabat sibuk mempersiapkan pemakaman.

Namun para sahabat merasa heran karena Nabi tidak ikut serta dalam pemakaman tersebut. Mereka menyaksikan Nabi tengah asyik memandangi langit, seolah ada sesuatu yang menyibukkan pandangan beliau. Para sahabat pun bertanya, "Apa yang tengah engkau pandangi, wahai Rasulullah?"

"Aku tengah bergembira memandangi calon istri-istri saudara kita yang baru saja gugur tadi," jawab Nabi SAW dengan bibir yang penuh dengan senyuman.

Perhatikanlah bagaimana besarnya nilai ucapan La Ilaha illallah Muhammadurrasulullah. Dengan ucapan itu sahabat Nabi yang baru saja masuk Islam ini sudah mendapatkan kemuliaan yang sangat tinggi bahkan calon istri-istrinya di surga kelak sudah Allah perlihatkan kepada Nabi-Nya pada saat pemakaman orang itu tengah dilaksanakan."

Jama’ah terkesima mendengarkan taushiyah Habib Ali. Meski “perjumpaan” itu hanya melalui sambungan seluler, kerinduan jama’ah sudah sedikit terobati.

Lima menit menjelang maghrib, Habib Alwi menutup majelis dengan doa.
Setelah adzan berkumandang, jama’ah pun segera menyantap hidangan ta`jil, yang telah disediakan oleh Ibu Hj. Nuniek Musawa.

Selepas shalat Maghrib, jama’ah kembali bercengkerama riang sambil menikmati nasi boks dan martabak telur istimewa. Senyum jama’ah bertambah riang lagi karena mereka pulang ke rumah masing-masing tidak hanya membawa ilmu dan keberkahan, tetapi juga goodie bag yang disediakan PT Aneka Yess, penerbit majalah alKisah, sebagai oleh-oleh bagi keluarga.

Semoga kebersamaan dan keriangan ini senantiasa beriring keberkahan dan curahan rahmat dari Allah SWT. 

Habib Ali Zainal Abidin AlKaf: Istighfar, Kiat Sukses Dunia-Akhirat

“Coba kita umpamakan istighfar ini, demikian juga wiridan yang lainnya, seperti bensin bagi kendaraan kita atau seperti pekerjaan yang kita jadikan sebagai profesi …”
Ada yang lain di kantor alKisah pada siang menjelang sore hari Kamis (18/11). Sejak pukul 14.30 WIB, di ruang utama, beberapa remaja dengan mengenakan pakaian putih-putih dan sarung, yang menjadi ciri khas anak-anak majelis ta`lim, khususnya di Jakarta, terlihat duduk-duduk sembari bercanda ringan dengan senyum yang sumringah terpancar dari wajah mereka. Di tengah-tengah mereka, seorang habib muda dengan wajah yang sejuk terlihat mengulang-ngulang syair dengan gaya khasnya. Dialah Habib Muhammad Zed Al-Habsyi, tamu alKisah yang datang untuk sesi pengambilan gambar pembacaan Maulid Simthud Durar, buah karya Habib Ali bin Muhammad bin Husein Al-Habsyi.

Untaian shalawat yang diiringi rampak pukulan hadrah yang merdu, yang ditabuh oleh santri-santri binaan Habib Muhammad Zed Al-Habsyi, terdengar penuh semangat hingga berkumandang adzan ashar bersahutan di cakrawala Jakarta. Udara yang semula terasa panas oleh terik matahari siang menjadi sejuk disertai semilir angin sepoi-sepoi yang menggerakkan dahan-dahan dan dedaunan pohon-pohon hias yang tertata rapi di halaman kantor.

Satu per satu, jama’ah setia Zawiyah alKisah pun berdatangan memenuhi ruang utama. Senda gurau kecil dan senyum riang terlihat menghiasai wajah-wajah mereka. Kegembiraan Hari Raya Qurban masih terlihat jelas dari raut wajah mereka yang tampak antusias menyaksikan pengambilan gambar Habib Muhammad Zed Al-Habsyi.

Menjelang pukul 16.00, waktu ta`lim Zawiyah alKisah, sesi pengambilan gambar  dihentikan untuk sementara. Sosok yang dinanti-nanti pun datang di tengah-tengah majelis. Dialah Habib Ali Zainal Abidin bin Abdullah Al-Kaf.

Habib Ali Zaenal Abidin Al-Kaf adalah figur yang ramah, humoris, dan rendah hati. Taushiyah yang diberikannya sering membuat yang mendengarkan menjadi tergugah dan tersentuh. Suaranya yang empuk dengan pembawaan yang bersahaja membuat dia menjadi tokoh yang cepat akrab dengan siapa saja.

Komitmennya untuk anak yatim dan kaum dhu’afa tidak diragukan lagi. Putra Habib Abdullah bin Ahmad Al-Kaf ini membaktikan seluruh hidupnya untuk mengajar, memberdayakan, dan melayani anak yatim dan dhu’afa yang menjadi binaannya di Pesantren Riyadhul Jannah, di Gang Buluh, Condet, Jakarta Timur.

Habib Ali Al-Kaf lahir di Tegal pada 18 Oktober 1967 dari pasangan Habib Abdullah bin Ahmad Al-Kaf dan Umi Syarifah Amar binti Agil Al-Atas.

Habib Ali menempuh pendidikan di Al-Azhar, Mesir, dari tahun 1987 sampai 1993. Sebelum melanjutkan studi ke Mesir, ia mendapat pendidikan agama dari ayahnya dan beberapa pesantren di Pulau Jawa, di samping sekolah umum di Tegal.    
Setelah dibuka dengan pembacaan Al-Fatihah dan Wirdul Lathif, yang menjadi wiridan tetap Zawiyah, pembawa acara langsung mendaulat Habib Ali untuk memberikan taushiyah:

Mengenali Diri Sendiri 
Dalam setiap ayat Al-Quran terkandung rahasia. Demikian pula hadits Nabi SAW. Rahasia-rahasia tersebut, ada yang kita mengerti, tapi ada pula yang tidak kita mengerti. Ada yang kita amalkan, tapi ada pula yang tidak.

Allah SWT sudah memberikan kepada kita ilmu tentang segala sesuatu untuk kehidupan kita yang seutuhnya, baik di dunia maupun di akhirat.

Hakikat kehidupan kita adalah untuk beribadah. Allah SWT berfirman, "Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku.” (QS Adz-Dzariyat: 56). Lalu untuk apa kita sibuk untuk urusan-urusan yang di luar ibadah?

Kalau ingin berhasil dalam hidup, jadilah manusia yang beribadah kepada Allah. Ibadah dalam artian yang luas, yaitu segala aktivitas yang mengandung kebaikan.

Itulah sebabnya, kita harus mengenali diri kita sendiri. Nabi SAW bersabda, “Barang siapa mengenal dirinya, ia akan mengenal Tuhannya.”

Mengapa hidup kita sengsara, bencana silih-berganti, negara kita tak henti-hentinya dilanda musibah? Tak lain karena kita tidak mengenal diri kita sendiri, kita tidak menempatkan diri kita pada posisi semestinya.

Andaikan masing-masing kita sadar diri untuk mematuhi peraturan yang ada, tentu semuanya akan berjalan lancar, aman, dan teratur.

Bila kita tidak sadar diri, tidak mengenali diri kita sendiri, kehidupan kita akan sama halnya seperti binatang. Segala sesuatunya harus menggunakan kekerasan.

Jika ingin hidup bahagia, sukses dunia akhirat, ikuti jalur yang Allah tunjukkan kepada kita. Yakni Al-Quran, yang juga dijelaskan oleh Nabi SAW dalam sunnahnya.

Lantas, mana di antara ayat yang simpel tetapi mengandung seluruh aspek kebutuhan kehidupan manusia.
Allah SWT berfirman:

اِسْتَغْفِرُوْا رَبَّكُمْ إِنَّهُ كَانَ غَفَّارًا. يُرْسِلِ السَّمَاءَ عَلَيْكُمْ مِدْرَارًا. وَيُمْدِدْكُمْ بِأَمْوَالٍ وَّبَنِيْنَ وَيَجْعَلْ لَّكُمْ أَنْهَارًا.(سورة نوح:10-12

“…Mohon ampunlah kepada Tuhan kalian. Sesungguhnya Dia Maha Pengampun. Niscaya Dia akan menurunkan hujan yang lebat dari langit. Dan Dia memperbanyak harta dan anak-anak kalian, dan mengadakan kebun-kebun untuk kalian dan mengadakan sungai-sungai untuk kalian.” (QS Nuh: 10 -12).

“Mohon ampunlah (beristighfarlah) kalian kepada Tuhan kalian”, yaitu kepada Allah SWT, “sesungguhnya Dia Maha Pengampun”, artinya bukan semata-mata Allah memerintahkan kita untuk beristighfar, melainkan Allah juga berjanji akan menerima istighfar kita, mengampuni kita atas semua dosa kita.

Semua ibadah pasti ada syaratnya. Kita melaksanakan ibadah haji belum tentu diterima, kita menjalankan shalat belum tentu diterima. Namun di saat kita beristighfar, Allah mengatakan, “Sesungguhnya Dia Maha Pengampun.” Artinya, pasti dosa-dosa kita akan dihapuskan oleh Allah SWT.

Coba perhatikan, Allah tidak mengatakan “akan mengampuni”, karena, bila Allah mengatakan demikian, pastilah istighfarnya akan dinilai. Apakah benar istighfarnya, sungguh-sungguh ataukah tidak, dan sebagainya. Akan tetapi Allah mengatakan, “Sesungguhnya Dia Maha Pengampun.” Artinya, pasti Allah akan menerima istighfar kita, bagaimanapun kondisi dan keadaan kita. Asalkan kita benar-benar pandai beristighfar, Allah pasti menerima istighfar kita, karena Dia “Ghaffar”, Maha Pengampun.

Jika kita sudah diampuni oleh Allah, lantas apa lagi yang kita inginkan? Bukankah yang paling kita takuti adalah dosa-dosa kita? Berapa banyak rizqi kita tersendat gara-gara dosa? Berapa banyak musibah, bencana, permasalahan dalam rumah tangga, pekerjaan, dan sebagainya, ujung-ujungnya adalah akibat dari dosa-dosa kita?

Bila Allah sudah menjanjikan kepada kita akan mengampuni dosa-dosa kita, pertanyaannya, apa lagi yang mau kita cari? Dosa dihapuskan, berarti masalah kita dan urusan kita kepada Tuhan selesai. Segala rintangan, masalah, musibah, dan sebagainya selesai, terbebaskan.

Karena Allah Mencintai Kita
Mungkin ada orang bertanya, bagaimana kalau kita sudah banyak-banyak istighfar tetapi masih ada saja musibah yang menimpa kita?

Jawabannya, itu bukan bencana, bukan musibah, tetapi sekadar cobaan, karena Allah mencintai kita. Karena, bila Allah mencintai seorang hamba, Dia akan memberi hamba itu cobaan, dan cobaan itu bukan sekadar numpang nyoba, melainkan itu adalah rahasia Ilahi.

Misalnya seseorang ingin punya anak, lalu belum Allah berikan, berarti Allah sedang mencobanya agar bila ia lulus dari cobaan itu ia akan bisa menghadapi cobaan-cobaan lainnya.

Dalam firman tersebut Allah SWT telah menjanjikan ampunan kepada kita. Ini maknanya, dalam hidup kita ini, pastilah kita tidak mungkin akan terlepas dari dosa dan kesalahan. Dan bila kita ingin kembali kepada kondisi hakikat kita diciptakan, yaitu menyembah Allah, sebagai hamba Allah yang beribadah, satu jalur yang paling utama adalah istighfar, memohon ampun kepada Allah, karena pasti Dia akan mengampuni kita atas segala dosa dan kesalahan kita.

Andaikan ayat ini hanya sampai di sini, niscaya sudah cukup bagi manusia. Namun Allah sangat memahami makhluk yang bernama manusia, keinginan-keinginannya. Bila seseorang sudah mempunyai A, tentu ia menginginkan B. Jika B sudah ia dapatkan, pasti ia menginginkan C, dan seterusnya, meskipun pada akhirnya ia akan menginginkan sesuatu yang semula itu.
Kado, misalnya, di dalamnya tentu ada isisnya. Perhatikanlah, kado tersebut diberi kardus, dibungkus dengan kertas sampul yang indah, diberi pita kanan-kirinya, dihiasi, dan seterusnya, namun pada akhirnya semua pernak-pernik tersebut dirobek dan dibuang, dan kemudian hanya diambil isinya.

Demikianl juga dalam kehidupan kita. Ampunan Allah SWT adalah inti dari segala sesuatu yang kita cari di dunia ini. Tapi Allah Maha Mengetahui keadaan kita, sifat-sifat kita, itulah sebabnya Allah memanjakan kita, manusia.

Allah menjelaskan kepada kita dengan bahasa kasih sayang dan penuh pengertian. Setelah Allah mengatakan “Dia Maha Pengampun”, Dia mengatakan, “Yursilis-sama’a midrara (Niscaya Dia akan menurunkan hujan yang lebat dari langit).” Maksud langit dalam ayat ini adalah hujan, maksud hujan adalah air, dan maksud air adalah sumber kehidupan. Maknanya, bila seseorang banyak-banyak beristighfar, menjadi ahli istighfar, Allah akan memberikan kepadanya kehidupan yang sesungguhnya. Semakin banyak istighfar, semakin hidup ia dengan kehidupan yang sesungguhnya, makin menikmati hidup, makin bahagia dalam hidupnya.

Kemudian Allah melanjutkan dengan firman-Nya, “dan Dia memperbanyak harta.” Allah menggunakan kata yumdidkum, yang artinya menyodorkan. Maknanya, siapa yang banyak-banyak beristighfar kepada Allah, pasti akan Allah limpahkan kepadanya kekayaan harta benda yang banyak.

Namun bukan berarti kita diam saja di rumah dan meninggalkan usaha. Melainkan segala jalan untuk mendapatkan harta benda akan mengalir dengan sendirinya, karena Allah akan mempermudah jalannya.

Jadikan pekerjaan dan usaha kita hanya sebatas ikhtiar. Jangan sampai meyakini bahwa pekerjaanlah yang akan menjamin rizqi kita. Bekerjalah semaksimal mungkin, namun yakini bahwa yang akan menjamin rizqi kita adalah Allah SWT.

Lalu Allah melanjutkannya dengan menjanjikan, “dan anak-anak kalian dan mengadakan kebun-kebun untuk kalian dan mengadakan sungai-sungai untuk kalian.” Allah menjanjikan akan mengaruniai anak-anak sebagai pelengkap kebahagiaan hidup kita. Mengapa Allah menyebutkan anak, bukan istri-istri, di antaranya adalah karena, bila seseorang Allah karuniai anak, pastilah telah berikan kepadanya pendamping-pendamping hidup.

Kemudian Allah menjanjikan jannat, kebun-kebun, yang maknanya adalah ketenteraman dalam hidup. Hidupnya menjadi ketenteraman, hartanya menjadi ketenteraman, anak-anaknya menjadi ketenteraman, dan demikian pula pendamping-pendamping hidupnya menjadi ketenteraman baginya.

Setelah itu Allah pun menjanjikan sungai-sungai yang mengalir, yang maknanya adalah sumber kehidupan yang berkesinambungan. Ia tidak pernah merasa khawatir akan kekurangan.

Itulah sebabnya, semua rangkaian kebutuhan dalam kehidupan ini, baik di dunia maupun di akhirat, terdapat dalam istighfar. Demikianlah sebagaimana yang disabdakan oleh Nabi Muhammad SAW, “Barang siapa melazimkan istighfar, niscaya Allah akan menjadikan jalan keluar dari setiap kesempitan, kesenangan dari setiap kedukaan, dan memberinya rizqi dari jalan yang tidak diduga-duga.” Dalam hadits ini Nabi SAW menjanjikan tiga hal yang juga menjadi kebutuhan manusia, yaitu jalan keluar, kesenangan, dan rizqi.
Sebelum ditutup, saya ingin menganjurkan kepada jama’ah (dan semua kaum muslimin) untuk mengamalkan dua istighfar berikut, masing-masing dibaca 100 kali pada pagi dan malam hari menjelang tidur, yaitu:     

رَبِّ اغْفِرْ لِي وَلِوَالِدَيَّ
Rabbighfir li wa liwalidayya

“Ya Tuhanku, ampunilah aku dan juga kedua orangtuaku.”

Adapun caranya, setiap 10 kali membaca istighfar di atas, bacalah:

وَارْحَمْهُمَا كَمَارَبَّيَانِي صَغِيْرًا

Warhamhuma kama rabbayani shaghira.

“Dan kasihanilah keduanya sebagaimana mereka mengasihiku sewaktu aku kecil.”

Adapun istighfar yang kedua adalah sebagai berikut:

رَبِّ اغْفِرْ لِي وَارْحَمْني وَتُبْ عَلَيَّ
Rabbighfir li warhamni wa tub `alayya

“Ya Tuhanku, ampunilah aku, kasihanilah aku, dan berilah taubat kepadaku.”

Insya Allah, dengan mengamalkan istighfar ini, kita akan mendapatkan segala apa yang Allah janjikan dalam ayat tersebut.

Jangan Melampaui Dosis

Setelah Habib Ali menutup taushiyahnya, dua jama’ah pun mengajukan pertanyaan.

“Bib, bagaimana kiat untuk mengatasi rasa malas dalam menjalankan wiridan kita?” tanya Bapak Adi, jama’ah setia Zawiyah alKisah dari Tanggerang.

“Ada dua hal yang dapat membuat kita malas dalam mengamalkan suatu wiridan, demikian juga ibadah lainnya. Yaitu, pertama, kelebihan dosis, melebihi yang semestinya, atau melakukannya dengan ukuran yang di luar kemampuan kita. Kedua, belum menjadikannya sebagai kebutuhan hidup. Coba kita umpamakan istighfar ini, demikian juga wiridan yang lainnya, seperti bensin bagi kendaraan kita atau seperti pekerjaan bagi profesi kita. Dapatkah kita seenaknya mengisi atau tidak mengisikannya bagi kendaraan kita, atau semau kita tidak masuk kerja? Tentu kendaraan kita tidak akan berjalan, dan kita pun pasti akan dipecat bila seenaknya meninggalkan tugas kita.”

“Bib, puasa Senin-Kamis kami jalani, shalat-shalat sunnah kami lakukan, namun demikian rizqi kami tetap terasa seret dan biasa-biasa saja. Bagaimana ini?” tanya Gunawan, jama’ah yang lain dari Cengkareng.

“Jawabanya sama, lazimkanlah istighfar dan istiqamah. Jangan bersandar pada pekerjaan kita, tetapi dekatilah Allah, pasti  Allah memudahkan segala urusan dan usaha kita.”  

Minggu, 24 April 2011

Al Habib Soleh bin Muhsin Al Hamid, Tanggul

Habib Sholeh bin Muhsin Al Hamid adalah seorang wali qutub yang lebih dikenal dengan nama Habib Sholeh Tanggul, ulama karismatik yang berasal dari Hadramaut pertama kali melakukan dakwahnya ke Indonesia sekitar tahun 1921 M dan menetap di daerah Tanggul, Jember, Jawa Timur. Habib Sholeh lahir tahun 1313 H di kota Korbah, ayahnya bernama Muhsin bin Ahmad juga seorang tokoh ulama dan wali yang sangat di cintai masyarakat, Ibunya bernama Aisyah ba Umar.
Sejak kecil Habib Sholeh gemar sekali menuntut ilmu, beliau banyak belajar dari ayahandanya yang memang seorang Ahli ilmu dan Tasawuf, berkat gembelengan dan didikan dari ayahnya Habib sholeh memilki kegelisahan batiniyah yang rindu akan Allah Swt dan rindunya Kepada Rasulullah Saw, akhirnya beliau melakukan "Uzlah" ( Mengasingkan diri) selama hampir 7 tahun. Sepanjang waktu selama mengasingkan diri Habib Sholeh memperbanyak membaca al quran, dzikir dan membaca Sholawat. Hingga akhirnya Habib Sholeh Di datangi oleh tokoh Ulama yang juga wali qutub Habib Abu bakar bin Muhammad As Segaf dari Gresik, Habib Sholeh di beri sorban hijau dimana sorban tersebut dari Rasulullah Saw dan ini menurut Habib Abu bakar As Segaf adalah suatu isyarat bahwa gelar wali qutub yang selama ini di sandang oleh habib Abubakar Assegaf akan diserahkan Kepada Habib Sholeh Bin Muhsin. Namun Habib sholeh Tanggul merasa bahwa dirinya merasa tidak pantas mendapat gelar Kehormatan tersebut. Sepanjang Hari habib Sholeh tanggul menangis memohon kepada Allah Swt agar mendapat Petunjuknya.
Dan suatu ketika habib Abu Bakar Bin Muhammad assegaf Gresik mengundang Habib sholeh tanggul untuk berkunjung kerumahnya, setelah tiba dirumah habib Abu Bakar Bin Muhammad As Segaf menyuruh Habib Sholeh Tanggul untuk mandi di sebuah kolam milik Habib Abu bakar Assegaf, setelah mandi habib Sholeh tanggul di beri ijazah dan dipakaikan Sorban kepadanya. Dan hal tersebut merupakan isyarat Bahwa habib Abu Bakar Bin Muhammad Assegaf telah memberikan Amanat kepada Habib sholeh tanggul untuk melanjutkan dakwah kepada masyrakat.
Habib Sholeh mulai melakukan berbagai aktifitas dakwahnya kepada masyarakat, dengan menggelar berbagai Pengajian- pengajian. Kemahiran beliau dalam penyampaian dakwahnya kepada masyarakat membuat beliau sangat dicintai, dan Habib sholeh mulai dikenal dikalangan Ulama dan habaib karena derajat keimuan serta kewaliaan yang beliau miliki. Habib sholeh tanggul sering mendapat kunjungan dari berbagai tokoh ulama serta habaib baik sekedar untuk bersilahturahmi ataupun untuk membahas berbagai masalah keaganmaan, bahkan para ulama serta habaib di tanah air selalu minta didoakan karena menurut mereka doa Habib sholeh tanggul selalu di kabulkan oleh allah Swt. Pernah suatu ketika habib Sholeh tanggul berpergian dengan habib Ali bin Abdurrahman Al habsy, Kwitang dan Habib ali bin Husin, Bungur, didalam perjalanan, Beliau melihat kerumunan warga yang sedang melaksanakan sholat Istisqo' ( Sholat minta hujan ) karena musim kemarau yang berkepanjangan, lalu Habib sholeh Memohon kepada allah Untuk menurunkan Hujan maka seketika itupula hujan turun. Beliau berpesan kepada jamaah majlis taklimnya apabila doa-doa kita ingin dikabulkan oleh Allah Swt jangan sekali-kali kita membuat allah murka dengan melakukan maksiyat, muliakan orang tua mu dan beristiqomalah dalam melaksanakan sholat subuh berjama'ah.
Habib Sholeh meninggal pada tanggal 7 Syawal 1396 H atau sekitar tahun 1976 M, hingga sekarang karamah beliau yang tampak setelah beliau meninggal adalah bahwa makam beliau tidak pernah sepi dari para jamaah yang datang dari berbagai daerah untuk berziarah, Terlebih lagi pada waktu perayaan haul beliau yang diadakan setiap hari kesepuluh di bulan syawal, ribuan orang akan tumpah ruah ke jalan untuk memperingati haul beliau.

Al-Habib Al-Qutub Abubakar bin Muhammad Assegaf

Al-Habib Al-Qutub Abubakar bin Muhammad Assaqqaf lahir di kota Besuki, Jawa Timur, pada tahun 1285 H. Semenjak kecil beliau sudah ditinggal oleh ayahnya yang wafat di kota Gresik. Pada tahun 1293 H, Habib Abubakar kemudian berangkat ke Hadramaut karena memenuhi permintaan nenek beliau, Syaikhah Fatimah binti Abdullah 'Allan. Beliau berangkat kesana ditemani dengan Al-Mukarram Muhammad Bazmul. Sesampainya disana, beliau disambut oleh paman, sekaligus juga gurunya, yaitu Abdullah bin Umar Assaqqaf, beserta keluarganya. Kemudian beliau tinggal di kediaman Al-Arif Billah Al-Habib Syeikh bin Umar bin Saggaf Assaqqaf.

Di kota Seiwun beliau belajar ilmu figih dan tasawuf kepada pamannya Al-Habib Abdullah bin Umar Assaqqaf. Hiduplah beliau dibawah bimbingan gurunya itu. Bahkan beliau dibiasakan oleh gurunya untuk bangun malam dan shalat tahajud meskipun usia beliau masih kecil. Selain berguru kepada pamannya, beliau juga mengambil ilmu dari para ulama besar yang ada disana. Diantara guru-guru beliau disana antara lain :
·         Al-Habib Al-Qutub Ali bin Muhammad Alhabsyi
·         Al-Habib Muhammad bin Ali Assaqqaf
·         Al-Habib Idrus bin Umar Alhabsyi
·         Al-Habib Ahmad bin Hasan Alatas
·         Al-Habib Al-Imam Abdurrahman bin Muhammad
·         Almasyhur (Mufti Hadramaut saat itu)
·         Al-Habib Syeikh bin Idrus Alaydrus
Al-Habib Al-Qutub Ali bin Muhamad Alhabsyi sungguh telah melihat tanda-tanda kebesaran dalam diri Habib Abubakar dan akan menjadi seorang yang mempunyai kedudukan yang tinggi. Al-Habib Ali Alhabsyi berkata kepada seorang muridnya, "Lihatlah mereka itu, 3 wali min auliyaillah, nama mereka sama, keadaan mereka sama, dan kedudukan mereka sama. Yang pertama, sudah berada di alam barzakh, yaitu Al-Habib Al-Qutub Abubakar bin Abdullah Alaydrus. Yang kedua, engkau sudah pernah melihatnya pada saat engkau masih kecil, yaitu Al-Habib Al-Qutub Abubakar bin Abdullah Alatas. Dan yang ketiga, engkau akan melihatnya di akhir umurmu."

Ketika usia murid tersebut sudah menginjak usia senja, ia bermimpi melihat Nabi SAW 5 kali dalam waktu 5 malam berturut-turut. Dalam mimpinya itu, Nabi SAW berkata kepadanya, "(Terdapat kebenaran) bagi yang melihatku di setiap kali melihat. Kami telah hadapkan kepadamu cucu yang sholeh, yaitu Abubakar bin Muhammad Assaqqaf. Perhatikanlah ia." Murid tersebut sebelumnya belum pernah melihat Habib Abubakar, kecuali di mimpinya itu. Setelah itu ingatlah ia dengan perkataan gurunya, Al-Habib Ali Alhabsyi, "Lihatlah mereka itu, 3 wali min auliyaillah..." Tidak lama setelah kejadian mimpinya itu, ia pun meninggal dunia, persis sebagaimana yang diisyaratkan oleh Al-Habib Ali bahwa ia akan melihat Habib Abubakar di akhir umurnya.

Setelah menuntut ilmu disana, pada tahun 1302 H beliau pun akhirnya kembali ke pulau Jawa bersama Habib Alwi bin Saggaf Assaqqaf, dan menuju kota Besuki. Disinilah beliau mulai mensyiarkan dakwah Islamiyyah di kalangan masyarakat. Kemudian pada tahun 1305 H, di saat usia beliau masih 20 tahun, beliau pindah menuju kota Gresik.

Di pulau Jawa, beliaupun masih aktif mengambil ilmu dan manfaat dari ulama-ulama yang ada di sana saat itu, diantaranya yaitu :
·         Al-Habib Abdullah bin Muhsin Alatas (Bogor)
·         Al-Habib Abdullah bin Ali Alhaddad (wafat di Jombang)
·         Al-Habib Ahmad bin Abdullah bin Thalib Alatas (Pekalongan)
·         Al-Habib Al-Qutub Abubakar bin Umar Bin Yahya (Surabaya)
·         Al-Habib Muhammad bin Idrus Alhabsyi (Surabaya)
·         Al-Habib Muhammad bin Ahmad Almuhdhor (wafat di Surabaya)
Pada suatu hari di saat menunaikan shalat Jum'at, datanglah ilhaamat rabbaniyyah kepada diri beliau untuk ber-uzlah dan mengasingkan diri dari keramaian duniawi dan godaannya, menghadap kebesaran Ilahiah, ber-tawajjuh kepada Sang Pencipta Alam, dan menyebut keagungan nama-Nya di dalam keheningan. Hal tersebut beliau lakukan dengan penuh kesabaran dan ketabahan.

Waktu pun berjalan demi waktu, sehingga tak terasa sudah sampai 15 tahun lamanya. Beliau pun akhirnya mendapatkan ijin untuk keluar dari uzlahnya, melalui isyarat dari guru beliau, yaitu Al-Habib Muhammad bin Idrus Alhabsyi. Berkata Al-Habib Muhammad bin Idrus Alhabsyi, "Kami memohon dan ber-tawajjuh kepada Allah selama 3 malam berturut-turut untuk mengeluarkan Abubakar bin Muhammad Assaqqaf dari uzlahnya."

Setelah keluar dari uzlahnya, beliau ditemani dengan Al-Habib Muhammad bin Idrus Alhabsyi berziarah kepada Al-Imam Al-Habib Alwi bin Muhammad Hasyim Assaqqaf. Sehabis ziarah, beliau dengan gurunya itu langsung menuju ke kota Surabaya dan singgah di kediaman Al-Habib Abdullah bin Umar Assaqqaf. Masyarakat Surabaya pun berbondong-bondong menyambut kedatangan beliau di rumah tersebut. Tak lama kemudian, Al-Habib Muhammad bin Idrus Alhabsyi berkata kepada khalayak yang ada disana seraya menunjuk kepada Habib Abubakar, "Beliau adalah suatu khazanah daripada khazanah keluarga Ba'alawi. Kami membukakannya untuk kemanfaatan manusia, baik yang khusus maupun yang umum."

Semenjak itu Habib Abubakar mulai membuka majlis taklim dan dzikir di kediamannya di kota Gresik. Masyarakat pun menyambut dakwah beliau dengan begitu antusias. Dakwah beliau tersebar luas...dakwah yang penuh ilmu dan ikhlas, semata-mata mencari ridhallah. Dalam majlisnya, beliau setidaknya telah mengkhatamkan kitab Ihya' Ulumiddin sebanyak 40 kali. Dan merupakan kebiasaan beliau, setiap kali dikhatamkannya pembacaan kitab tersebut, beliau mengundang jamuan kepada masyarakat luas.

Beliau adalah seorang yang ghirahnya begitu tinggi dalam mengikuti jalan, atribut dan akhlak keluarga dan salafnya saadah Bani Alawi. Majlis beliau senantiasa penuh dengan mudzakarah dan irsyad menuju jalan para pendahulunya. Majlis beliau tak pernah kosong dari pembacaan kitab-kitab mereka. Inilah perhatian beliau untuk tetap menjaga thariqah salafnya dan berusaha berjalan diatas...qadaman ala qadamin bi jiddin auza'i.

Itulah yang beliau lakukan semasa hayatnya, mengajak manusia kepada kebesaran Ilahi. Waktu demi waktu berganti, sampai kepada suatu waktu dimana Allah memanggilnya. Disaat terakhir dari akhir hayatnya, beliau melakukan puasa selama 15 hari, dan setelah itu beliau pun menghadap ke haribaan Ilahi. Beliau wafat pada tahun 1376 H pada usia 91 tahun. Jasad beliau disemayamkan di sebelah masjid Jami, Gresik.

Walaupun beliau sudah berpulang ke rahmatillah, kalam-kalam beliau masih terdengar dan membekas di hati para pendengarnya. Akhlak-akhlak beliau masih menggoreskan kesan mendalam di mata orang-orang yang melihatnya. Hal-ihwal beliau masih mengukir keindahan iman di kehidupan para pecintanya.
Radhiyallohu anhu wa ardhah...

Senin, 11 April 2011

Nabi Pun Memperingati Maulid


Imam Muslim dalam Shahih-nya (2/819) meriwayatkan dari Abu Qatadah bahwa Rasulullah SAW ditanya tentang puasa hari Senin, beliau menjawab, "Itu adalah hari aku dilahirkan dan hari turunnya wahyu kepadaku."
Pada abad ke-14 H, muncul sekelompok orang yang mengharamkan ziarah kubur, termasuk kubur Nabi SAW, melarang bertawassul dengan nabi-nabi dan orang-orang shalih, melarang membaca doa bersama-sama setelah shalat fardhu, termasuk melarang peringatan Maulid Nabi SAW.

Mereka menyebut peringatan Maulid sebagai bid’ah yang sesat. Bahkan sebagian mereka menyatakan, peringatan Maulid adalah perbuatan syirik, dan pelakunya adalah musyrik.

Tidak tertutup kemungkinan, karena ketidaktahuan umat, hingga kini masih ada di antara mereka yang juga bersikap demikian. Yang sering terucap di antara mereka adalah bahwa peringatan Maulid itu bid’ah, dan karena bid’ah hukumnya sesat.

Bahasa adalah fenomena. Dan, sebagai sebuah fenomena, barangkali memang sulit bagi kita untuk membendungnya. Demikian pula fenomena penggunaan kata “bid’ah” dalam masyarakat kita. Tanpa konteks tertentu, kata itu mungkin berkonotasi “haram”, “sesat”, “terlarang”, dan sebagainya. Tapi, apakah semua bid’ah itu haram?

Tidak! Para ulama membagi bid’ah menjadi bid’ah hasanah, bid’ah yang baik, dan bid’ah qabihah, bid’ah yang tercela.

Bid’ah hasanah adalah perbuatan-perbuatan yang belum dikenal pada masa Nabi SAW namun tidak bertentangan dengan Al-Quran dan as-sunnah. Contohnya, menghimpun Al-Quran ke dalam sebuah mushhaf, mengumpulkan orang-orang untuk mengerjakan shalat Tarawih berjama’ah.

Lalu bagaimana dengan sabda Rasulullah SAW “Setiap hal yang baru adalah bid’ah dan setiap bid’ah adalah sesat”?

Untuk menjawab itu, kita juga mesti menyimak sabda Rasulullah SAW yang lain, “Siapa yang membuat bid’ah sesat, yang tidak diridhai Allah dan Rasul-Nya, atasnya dosa orang yang mengamalkannya, tanpa sedikit pun mengurangi dosa-dosa mereka.” Dari bagian kalimat “bid’ah sesat, yang tidak diridhai Allah dan Rasul-Nya”, bisa dimaknai bahwa ada bid’ah lain, yang diridhai Allah dan Rasul-Nya, yakni bid’ah hasanah.

Jadi, yang dimaksud dengan hal baru dalam hadits “Setiap hal yang baru adalah bid’ah dan setiap bid’ah adalah sesat” adalah hal-hal baru yang bathil, yang tidak diridhai Allah dan Rasul-Nya. Sedangkan perayaan Maulid jelas adalah bid’ah hasanah.

Di samping dalil tentang bid’ah itu, masih ada dalil-dalil lain yang sangat kuat ihwal disyari’atkannya Maulid:

•    Perintah mengagungkan hari dan tempat kelahiran beberapa nabi dalam Al-Quran dan sunnah.
•    Kisah Abu Lahab yang memerdekakan budaknya, Tsuwaibah Al-Aslamiyyah, karena gembira dengan kelahiran Nabi SAW.
• Peringatan yang dilakukan oleh Nabi SAW di hari kelahirannya dengan melakukan puasa pada hari Senin.
• Hadits shahih yang berasal dari Nabi SAW tentang puasa hari Asyura.
• Nabi SAW melakukan aqiqah bagi dirinya setelah diutus menjadi nabi.
• Perintah memuliakan hari Jum`at karena sebab diciptakannya Nabi Adam AS di hari itu.
• Penyebutan Allah SWT tentang kisah para nabi dalam Al-Quran, di antaranya kisah kelahiran Nabi Yahya AS, Maryam, dan Nabi Isa AS.
• Maulid sebagai perantara untuk melakukan berbagai perbuatan taat.
• Firman Allah SWT, “Katakanlah (Muhammad), ‘Dengan karunia Allah dan rahmat-Nya, hendaklah dengan itu mereka bergembira. Itu lebih baik daripada apa yang mereka kumpulkan.” – QS Yunus (10): 58.
• Perayaan Maulid bukanlah ibadah tawqifiyah, ibadah yang pasti dan sudah jelas mutlak dalilnya, melainkan taqarrub yang mubah.
Kaidah ushul fiqh anna ma dakhalah al-ihtimal saqath al-istidlal, segala sesuatu yang mengandung kemungkinan tidak dapat dijadikan dalil.
Nafy al-`ilm la yulzam minh nafy al-wujud, ketidaktahuan tidak melazimkan ketidakadaan sesuatu.

Al Habib Salim bin Jindan


Habib Salim bin Ahmad bin Husain bin Sholeh bin Abdullah bin ‘Umar bin ‘Abdullah (BinJindan) bin Syaikhan bin Syaikh Abu Bakar bin Salim adalah ulama dan wali besar ini dilahirkan di Surabaya pada 18 Rajab 1324. Memulakan pengajiannya di Madrasah al-Khairiyyah, Surabaya sebelum melanjutkan pelajarannya ke Makkah, Tarim dan Timur Tengah. Berguru dengan ramai ulama. Seorang ahli hadis yang menghafal 70,000 hadis (i.e. ada yang mengatakan ratusan ribu hadis). Beliau juga seorang ahli sejarah yang hebat, sehingga diceritakan pernah beliau menulis surat dengan Ratu Belanda berisikan silsilah raja-raja Belanda dengan tepat. Hal ini amat mengkagumkan Ratu Belanda, lantas surat beliau diberi jawaban dan diberi pujian dan penghargaan, sebab tak disangka oleh Ratu Belanda, seorang ulama Indonesia yang mengetahui silsilahnya dengan tepat. Tetapi tanda penghargaan Ratu Belanda tersebut telah dibuang oleh Habib Salim kerana beliau tidak memerlukan penghargaan.

Dalam usaha dakwahnya, beliau telah mendirikan madrasah di Probolinggo serta mendirikan Majlis Ta’lim Fakhriyyah di Jakarta, selain merantau ke berbagai daerah Indonesia untuk tujuan dakwah dan ta’lim. Mempunyai ramai murid antaranya Kiyai Abdullah Syafi`i, Habib Abdullah bin Thoha as-Saqqaf, Kiyai Thohir Rohili, Habib Abdur Rahman al-Attas dan ramai lagi.
Habib Salim juga aktif dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia sehingga dipenjarakan oleh Belanda. Di zaman penjajahan Jepun, beliau juga sering dipenjara kerana ucapan-ucapannya yang tegas, bahkan setelah kemerdekaan Indonesia, beliau juga sering keluar masuk penjara kerana kritikannya yang tajam terhadap kerajaan apalagi dalam hal bersangkutan agama yang sentiasa ditegakkannya dengan lantang.
Sifat dan kepribadian luhurnya serta ilmunya yang luas menyebabkan ramai yang berguru kepada beliau, Presiden Soerkano sendiri pernah berguru dengan beliau dan sering dipanggil ke istana oleh Bung Karno. Waktu Perjanjian Renvil ditandatangani, beliau turut naik atas kapal Belanda tersebut bersama pemimpin Indonesia lain. Beliau wafat di Jakarta pada 10 Rabi`ul Awwal dan dimakamkan dengan Masjid al-Hawi, Jakarta……Al-Fatihah.
Ratapan 10 Muharram – Fatwa Habib Salim
Lantaran Revolusi Syiah Iran yang menumbangkan kerajaan Syiah Pahlavi, maka ada orang kita yang terpengaruh dengan ajaran Syiah. Bahkan ada juga keturunan Saadah Ba ‘Alawi yang terpengaruh kerana termakan dakyah Syiah yang kononnya mengasihi Ahlil Bait.
Habib Salim bin Ahmad Bin Jindan telah menulis sebuah kitab membongkar kesesatan Syiah yang diberinya judul “Ar-Raa`atul Ghoomidhah fi Naqdhi Kalaamir Raafidhah”. Berhubung dengan bid`ah ratapan pada hari ‘Asyura, Habib Salim menulis, antaranya:
• Dan di antara seburuk-buruk adat mereka daripada bid`ah adalah puak Rawaafidh (Syiah) meratap dan menangis setiap tahun pada 10 Muharram hari terbunuhnya al-Husain. Maka ini adalah satu maksiat dari dosa-dosa besar yang mewajibkan azab bagi pelakunya dan tidak sewajarnya bagi orang yang berakal untuk meratap seperti anjing melolong dan menggerak-gerakkan badannya.
• Junjungan Rasulullah s.a.w. telah menegah daripada perbuatan sedemikian (yakni meratap) dan Junjungan Rasulullah s.a.w. telah melaknat orang yang meratap. Dan di antara perkara awal yang diminta oleh Junjungan Rasulullah s.a.w. daripada wanita-wanita yang berbaiah adalah supaya mereka meninggalkan perbuatan meratap terhadap si mati, di mana Junjungan s.a.w. bersabda: “Dan janganlah kalian merobek pakaian, mencabut-cabut rambut dan menyeru-nyeru dengan kecelakaan dan kehancuran”.
• Imam Bukhari dan Muslim meriwayatkan satu hadis daripada Sayyidina Ibnu Mas`ud r.a. bahawa Junjungan s.a.w bersabda: “Bukanlah daripada kalangan kami orang yang memukul dada, mengoyak kain dan menyeru dengan seruan jahiliyyah (yakni meratap seperti ratapan kaum jahiliyyah).” Maka semua ini adalah perbuatan haram dan pelakunya terkeluar daripada umat Muhammad s.a.w. sebagaimana dinyatakan dalam hadis tadi.
• Telah berkata asy-Syarif an-Nashir li Ahlis Sunnah wal Jama`ah ‘Abdur Rahman bin Muhammad al-Masyhur al-Hadhrami dalam fatwanya: “Perbuatan menyeru `Ya Husain’ sebagaimana dilakukan di daerah India dan Jawa yang dilakukan pada hari ‘Asyura, sebelum atau selepasnya, adalah bid`ah madzmumah yang sangat-sangat haram dan pelaku-pelakunya dihukumkan fasik dan sesat yang menyerupai kaum Rawaafidh (Syiah) yang dilaknat oleh Allah. Bahwasanya Junjungan Rasulullah s.a.w. bersabda: “Sesiapa yang menyerupai sesuatu kaum, maka dia daripada kalangan mereka dan akan dihimpun bersama mereka pada hari kiamat.”
Janganlah tertipu dengan dakyah Syiah. Pelajarilah betul-betul pegangan Ahlus Sunnah wal Jama`ah dan berpegang teguh dengannya. Katakan tidak kepada selain Ahlus Sunnah wal Jama`ah, katakan tidak kepada Wahhabi, katakan tidak kepada Syiah.



Ulama dan Pejuang Kemerdekaan
Ulama Jakarta ini menguasai beberapa ilmu agama. Banyak ulama dan habaib berguru kepadanya. Koleksi kitabnya berjumlah ratusan. Ia juga pejuang kemerdekaan.
Pada periode 1940-1960, di Jakarta ada tiga habaib yang seiring sejalan dalam berdakwah. Mereka itu: Habib Ali bin Abdurahman Alhabsyi (Kwitang), Ali bin Husein Alatas (Bungur) dan Habib Salim bin Jindan (Otista). Hampir semua habaib dan ulama di Jakarta berguru kepada mereka, terutama kepada Habib Salim bin Jindan – yang memiliki koleksi sekitar 15.000 kitab, termasuk kitab yang langka. Sementara Habib Salim sendiri menulis sekitar 100 kitab, antara lain tentang hadits dan tarikh, termasuk yang belum dicetak.
Lahir di Surabaya pada 18 Rajab 1324 (7 September 1906) dan wafat di Jakarta pada 16 Rabiulawal 1389 (1 Juni 1969), nama lengkapnya Habib Salim bin Ahmad bin Husain bin Saleh bin Abdullah bin Umar bin Abdullah bin Jindan. Seperti lazimnya para ulama, sejak kecil ia juga mendapat pendidikan agama dari ayahandanya.
Menginjak usia remaja ia memperdalam agama kepada Habib Abdullah bin Muhsin Alatas (Habib Empang, Bogor), Habib Muhammad bin Ahmad Al-Muhdhar (Bondowoso), Habib Muhammad bin Idrus Alhabsyi (Surabaya), Habib Abubakar bin Muhammad Assegaf (Gresik), K.H. Cholil bin Abdul Muthalib (Kiai Cholil Bangkalan), dan Habib Alwi bin Abdullah Syahab di Tarim, Hadramaut.
Selain itu ia juga berguru kepada Habib Abdul Qadir bin Ahmad Bilfagih, seorang ahli hadits dan fuqaha, yang sat itu juga memimpin Madrasah Al-Khairiyah di Surabaya. Bukan hanya itu, ia juga rajin menghadiri beberapa majelis taklim yang digelar oleh para ulama besar. Kalau dihitung, sudah ratusan ulama besar yang ia kunjungi.
Dari perjalanan taklimnya itu, akhirnya Habib Salim mampu menguasai berbagai ilmu agama, terutama hadits, tarikh dan nasab. Ia juga hafal sejumlah kitab hadits. Berkat penguasaannya terhadap ilmu hadits ia mendapat gelar sebagai muhaddist, dan karena menguasai ilmu sanad maka ia digelari sebagai musnid.
Mengenai guru-gurunya itu, Habib Salim pernah berkata, “Aku telah berkumpul dan hadir di majelis mereka. Dan sesungguhnya majelis mereka menyerupai majelis para sahabat Rasulullah SAW dimana terdapat kekhusyukan, ketenangan dan kharisma mereka.”
Adapun guru yang paling berkesan di hatinya ialah Habib Alwi bin Muhammad Alhaddad dan Habib Abubakar bin Muhammad Assegaf. Tentang mereka, Habib Salim pernah berkata, ”Cukuplah bagi kami mereka itu sebagai panutan dan suri tauladan.”
Pada 1940 ia hijrah ke Jakarta. Di sini selain membuka majelis taklim ia juga berdakwah ke berbagai daerah. Di masa perjuangan menjelang kemerdekaan, Habib Salim ikut serta membakar semangat para pejuang untuk berjihad melawan penjajah Belanda. Itu sebabnya ia pernah ditangkap, baik di masa penjajahan Jepang maupun ketika Belanda ingin kembali menjajah Indonesia seperti pada Aksi Polisionil I pada 1947 dan 1948.
Dalam tahanan penjajah, ia sering disiksa: dipukul, ditendang, disetrum. Namun, ia tetap tabah, pantang menyerah. Niatnya bukan hanya demi amar makruf nahi munkar, menentang kebatilan dan kemungkaran, tetapi juga demi kemerdekaan tanah airnya. Sebab, hubbul wathan minal iman – cinta tanah air adalah sebagian dari pada iman.
Kembali Berdakwah
Setelah Indonesia benar-benar aman, Habib Salim sama sekali tidak mempedulikan apakah perjuangannya demi kemerdekaan tanah air itu dihargai atau tidak. Ia ikhlas berjuang, kemudian kembali membuka majelis taklim yang diberi nama Qashar Al-Wafiddin. Ia juga kembalin berdakwah dan mengajar, baik di Jakarta, di beberapa daerah maupun di luar negeri, seperti Singapura, Malaysia, Kamboja.
Ketika berdakwah di daerah-daerah itulah ia mengumpulkan data-data sejarah Islam. Dengan cermat dan tekun ia kumpulkan sejarah perkembangan Islam di Ternate, Maluku, Ambon, Sulawesi, Kalimantan, Nusa Tenggara, Timor Timur, Pulau Roti, Sumatera, Pulau Jawa. Ia juga mendirikan sebuah perpustakaan bernama Al-Fakhriah.
Di masa itu Habib Salim juga dikenal sebagai ulama yang ahli dalam menjawab berbagai persoalan – yang kadang-kadang menjebak. Misalnya, suatu hari, ketika ia ditanya oleh seorang pendeta, ”Habib, yang lebih mulia itu yang masih hidup atau yang sudah mati?” Maka jawab Habib Salim, “Semua orang akan menjawab, yang hidup lebih mulia dari yang mati. Sebab yang mati sudah jadi bangkai.”
Lalu kata pendeta itu, “Kalau begitu Isa bin Maryam lebih mulia dari Muhammad bin Abdullah. Sebab, Muhammad sudah meninggal, sementara Isa — menurut keyakinan Habib — belum mati, masih hidup.”
“Kalau begitu berarti ibu saya lebih mulia dari Maryam. Sebab, Maryam sudah meninggal, sedang ibu saya masih hidup. Itu, dia ada di belakang,” jawab Habib Salim enteng. Mendengar jawaban diplomatis itu, si pendeta terbungkam seribu bahasa, lalu pamit pulang. Ketika itu banyak kaum Nasrani yang akhirnya memeluk Islam setelah bertukar pikiran dengan Habib Salim.
Habib Salim memang ahli berdebat dan orator ulung. Pendiriannya pun teguh. Sejak lama, jauh-jauh hari, ia sudah memperingatkan bahaya kerusakan moral akibat pornografi dan kemaksiatan. “Para wanita mestinya jangan membuka aurat mereka, karena hal ini merupakan penyakit yang disebut tabarruj, atau memamerkan aurat, yang bisa menyebar ke seluruh rumah kaum muslimin,” kata Habib Salim kala itu.
Ulama besar ini wafat di Jakarta pada 16 Rabiulawal 1389 (1 Juni 1969). Ketika itu ratusan ribu kaum muslimin dari berbagai pelosok datang bertakziah ke rumahnya di Jalan Otto Iskandar Dinata, Jakarta Timur. Iring-iringan para pelayat begitu panjang sampai ke Condet. Jasadnya dimakamkan di kompleks Masjid Alhawi, Condet, Jakarta Timur.
Almarhum meninggalkan dua putera, Habib Shalahudin dan Habib Novel yang juga sudah menyusul ayahandanya. Namun, dakwah mereka tetap diteruskan oleh anak keturunan mereka. Mereka, misalnya, membuka majelis taklim dan menggelar maulid (termasuk haul Habib Salim) di rumah peninggalan Habib Salim di Jalan Otto Iskandar Dinata.
Belakangan, nama perpustakaan Habib Salim, yaitu Al-Fachriyyah, diresmikan sebagai nama pondok pesantren yang didirikan oleh Habib Novel bin Salim di Ciledug, Tangerang. Kini pesantren tersebut diasuh oleh Habib Jindan bin Novel bin Salim dan Habib Ahmad bin Novel bin Salim – dua putra almarhum Habib Novel. “Sekarang ini sulit mendapatkan seorang ulama seperti jid (kakek) kami. Meski begitu, kami tetap mewarisi semangatnya dalam berdakwah di daerah-daerah yang sulit dijangkau,” kata Habib Ahmad, cucu Habib Salim bin Jindan.
Ada sebuah nasihat almarhum Habib Salim bin Jindan yang sampai sekarang tetap diingat oleh keturunan dan para jemaahnya, ialah pentingnya menjaga akhlak keluarga. ”Kewajiban kaum muslimin, khususnya orangtua untuk menasihati keluarga mereka, menjaga dan mendidik mereka, menjauhkan mereka dari orang-orang yang bisa merusak akhlak. Sebab, orangtua adalah wasilah (perantara) dalam menuntun anak-anak. Nasihat seorang ayah dan ibu lebih berpengaruh pada anak-anak dibanding nasehat orang lain.”