Jumat, 27 Mei 2011

Hadramaut Bumi Sejuta Wali

Penyusun: Ahmad Imran & Syamsul Hary
Penerbit: Cahaya Ilmu Publisher & Duta Mustafa Press, Surabaya
Harga: Rp. 69.000
Al-Faqih Muqaddam Muhammad bin Ali Ba`alawi, Habib Abdullah bin Alwi Al-Haddad, Habib Ali bin Abi Bakar As-Sakran, Habib Ali bin Muhammad Al-Habsyi, dan Habib Umar bin Abdurrahman Al-Attas adalah di antara wali-wali besar yang lahir dan besar serta menggapai ketinggian maqam di bumi Hadhramaut.

Hadhramaut adalah sebuah negeri yang menyimpan keajaiban yang unik. Di balik bentangan buminya yang gersang, ia menawarkan kesejukan ruhani yang tak terlukiskan. Embusan manfaat wali-walinya terasa hingga ke seluruh penjuru dunia. Tak luput Nusantara terkasih ini.

Membaca buku ini, dengan foto-foto eksklusif yang dicetak dengan kertas art paper, akan membawa Anda kepada perjalanan para kekasih Allah yang penuh dengan pelajaran dan hikmah.

Pesan Segera!
Hubungi bagian Sirkulasi Majalah alKisah
Jalan Pramuka Raya No. 410, Jakarta 13120
Telp. 021-856. 2257/ 8590. 0947
Fax: 021-8590.0947
e-mail: online.pustaka@yahoo.com

Jika Cinta Rasul, Cinta Ahlul Bayt-nya


Judul: Rasulullah SAW. Mempunyai Keturunan & Allah SWT Memuliakannya
Pengarang: Ir. Sayyid Abdussalam Al-Hinduan, M.B.A.
Penerbit: Cahaya Hati, Cetakan 1 Februari 2008
Tebal: 156 halaman
Jika Cinta Rasul, Cinta Ahlul Bayt-nya
“Kutinggalkan di tengah kalian dua peninggalanku: Kitabullah, sebagai tali yang terentang dari langit sampai ke bumi, dan keturunanku, ahlul baytku. Dua-duanya itu sungguh tidak akan terpisah hingga saat kembali kepadaku di haudh (telaga di surga).”
Telah sama kita maklumi, Rasulullah adalah nabi utusan Allah SWT kepada seluruh manusia. Keberadaannya merupakan rahmat bagi alam semesta. Ayat Al-Quran secara tegas menyatakan hal tersebut, “Dan kami tidak mengutus engkau (wahai Muhammad) melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi seluruh alam.” (QS Al-Anbiya’: 108). Dialah pula rasul yang paling dicintai oleh Allah dan diberi gelar Al-Habib Al-A`zham (Kekasih yang Teragung).
Dalam ayat lain dikatakan, “Dan sesungguhnya engkau benar-benar berbudi pekerti yang luhur.” (QS Al-Qalam: 4).
Tak ada yang mengingkari betapa besar jasa yang telah diberikan oleh Rasulullah SAW. Dengan risalah yang Allah perintahkan untuk disampaikannya, beliau telah menunjukkan jalan yang lurus, telah mengalihkan manusia dari kegelapan menuju cahaya yang terang benderang. Beliau telah berjasa membawa umat manusia untuk mengenal Pencipta mereka serta mengabdi dan beribadah kepada-Nya.
Melalui beliaulah kita mengenal apa yang Allah perintahkan dan apa yang Allah larang. Melalui beliau pula kita mengetahui bagaimana cara-cara mendekatkan diri kepada-Nya. Bahkan, bagaimana menjalani kehidupan dalam segala seginya pun, kita dibimbing olehnya. Ya, betapa besar jasa beliau kepada umat manusia.
Seorang yang berakal, dan memiliki perasaan, tentu tak akan mengabaikan begitu saja orang yang telah berjasa kepadanya. Kepada orang yang memberikan pertolongan sedikit saja, hati kecil kita pasti ingin memberikan balasannya. Apalagi kepada orang yang telah memberikan pertolongan tak terkira, yang telah menyelamatkannya sepanjang kehidupan, baik di dunia maupun di akhirat. Tentu sangat tak layak untuk mengabaikannya dan tak berterima kasih kepadaya.
Permintaan Nabi
Tetapi bagaimana berterima kasih kepadanya atas dakwahnya kepada umat manusia? Salah satunya adalah memberikan apa yang diminta oleh beliau.
Pertanyaannya, apa yang diminta oleh beliau? Mengenai itu, ayat Al-Quran mengatakan, “Katakanlah, hai Muhammad, ‘Aku tidak minta upah apa pun atas hal itu (yakni dakwah risalah) kecuali cinta kasih dalam (terhadap) keluarga’.” (QS Asy-Syura: 23). Para ulama menjelaskan bahwa yang dimaksud keluarga di situ adalah keluarga Nabi (ahlul bayt).
Ahlul bayt Rasulullah SAW adalah orang yang paling dekat dengan beliau, yang secara khusus dicintai, dihormati, dan dipeliharanya. Allah memuliakan mereka dan secara khusus dijaga agar tetap suci dan dijauhkan dari kekejian. Banyak hadits yang menunjukkan kemuliaan mereka dan perintah beliau kepada umatnya untuk mencintai mereka.
Rasulullah sangat mencintai dan menyayangi ahlul baytnya. Ibnu Abbas RA mengatakan, “Aku menyaksikan sendiri selama sembilan bulan, setiap hendak shalat di masjid Rasulullah selalu mengatakan, ‘Assalamu `alaikum warahmatullahi wabarakatuh. Sungguh Allah hendak menghapuskan noda dari kalian, wahai ahlul bayt, dan benar-benar hendak menyucikan kalian. Marilah kita shalat. Semoga Allah melimpahkan rahmatnya kepada kalian’.” Ucapan salam ini ditujukan kepada keluarga Ali bin Abi Thalib dan Fathimah.
Tidak cukup dengan mengucapkan salam kepada ahlul baytnya, Rasulullah juga mengingatkan, “Kutinggalkan di tengah kalian dua peninggalanku: Kitabullah, sebagai tali yang terentang dari langit sampai ke bumi, dan keturunanku, ahlul baytku. Dua-duanya itu sungguh tidak akan terpisah hingga saat kembali kepadaku di haudh (telaga di surga).”
Selama ini telah banyak muncul beberapa buku dalam bahasa Arab yang berbicara tentang ahlul bayt. Tetapi yang dalam bahasa Indonesia memang belum banyak. Namun, alhamdulillah kini telah bertambah lagi dengan terbitnya buku Rasulullah SAW. Mempunyai Keturunan dan Allah SWT Memuliakannya, ditulis oleh Ir. Sayyid Abdussalam Al-Hinduan, M.B.A.
Hadits Tsaqalain
Beberapa bahasan penting diuraikan dalam buku ini. Pembahasan diawali dengan kisah tentang sikap kaum kafir Quraisy yang mengejek bahwa Rasulullah tidak mempunyai keturunan karena anak laki-lakinya wafat. Kemudian berturut-turut dibahas ihwal dikukuhkannya ahlul bayt Nabi SAW berdasarkan surah Al-Ahzab ayat 33, bernasabnya semua orang kepada ayahnya kecuali anak-anak Fathimah, lalu tentang hadits tsaqalain, yaitu wasiat Nabi SAW bahwa beliau meninggalkan dua perkara berat kepada umatnya, yakni Al-Quran dan keturunannya.
Hadits tsaqalain itu memang berbeda dengan hadits lainnya yang telah sangat terkenal, yaitu bahwa Nabi SAW meninggalkan dua perkara, Al-Quran dan sunnahnya. Kedua hadits itu ada dan masing-masing tidak membatalkan yang lainnya. Bedanya, hadits tsaqalain tersebut masih belum banyak diketahui kaum muslimin, padahal tidak kalah pentingnya. Dan hadits itu memang menjadi bagian yang sangat urgen dalam pembahasan tentang keluarga Rasulullah, karena merupakan wasiat beliau.
Bahasan lain yang diuraikan dalam buku ini adalah tentang eksisnya keturunan Nabi SAW hingga hari kiamat, wajibnya mencintai keluarga Rasulullah, arti dan leluhur Bani Alawi, dan beberapa hal lain yang terkait. Dibahas pula tentang peranan keturunan Nabi SAW dalam penyebaran Islam.
Kehadiran buku ini diharapkan dapat menambah dan memperkaya khazanah pengetahuan Islam, terutama bagi para pecinta Rasulullah SAW dan keluarganya. Bagi kaum muslimin, mereka dapat lebih memahami persoalan ini, sehingga dapat menambah kecintaan kepada keluarga dan keturunan beliau. Sedangkan bagi mereka yang tergolong keturunan beliau, dapat memahami tugas dan tanggung jawab mereka yang berat. RIS
Add Comment
 

Comments  

 
-1 #1 elfan 2010-12-13 15:33
Jika kita telaah Al Quran yang menyangkut Ahlul Bait sebagaimana termuat dalam QS. 11:73, 28:12 dan terakhir yang sering jadi dasar para pengaku keturunan Ahlul Bait QS. 33:33. Dari ketiga surat ini dan dikaitkan dengan QS. 33:4-5, maka jelas para ahlul bait terakhir itu hanyalah Bunda Fatimah.

Kedudukan Bunda Fatimah ini, walaupun beliau Ahlul Bait, tetapi dikaitkan dengan QS. 33:4-5 jelas bukanlah penerus 'nasab'. Nasab dalam Islam dan Al Quran ya tetap saja pada jalur laki-laki bukan perempuan.

Menurut hemat saya, pewaris tahta Ahlul Bait itu sebenarnya sudah tidak ada lagi, anak Bunda Fatimah dengan Sayyidina Ali bin Abi Thalib bukanlah penerus Ahlul Bait lagi. Anak-anak Sayyidina Ali dengan Bunda Fatimah tetap saja bernasab pada nasab Sayyidina Ali bin Abi Thalib, bukan bernasab pada Sayyidina Muhammad bin Abdullah.

Menjadi Manusia “Berihram”

Judul: Serasa Berihram Terus
Pengarang: Nur Hidayat
Penerbit: Republika, Jakarta, 2009
Tebal: (X) + 300 halaman
Seyogianya kita mampu terus “mengenakan ihram” dalam kehidupan sehari-hari sepulang dari Tanah Suci.

Memasuki bulan Dzulqa’dah, ribuan jama’ah haji dari berbagai penjuru dunia berbondong-bondong mendatangi kota suci Makkah. Jumlahnya dari tahun ke tahun meningkat. Begitu juga dengan daftar tungggu, tak pernah mengalami penurunan.
Ibadah haji adalah salah satu ibadah yang menunjukkan keagungan Sang Pencipta. Melaksanakan ibadah haji haruslah dengan niat ikhlas, semata karena-Nya. Bukan karena ingin pamer kepada orang lain, atau untuk menunjukkan status sosial kepada masyarakat sekitar. Serangkaian ritus mesti diindahkan dalam menunaikan ibadah nan agung itu. Termasuk dalam hal busana.

Simbol Kesederhanaan Dalam berhaji, umat Islam diwajibkan mengenakan kain ihram. Ihram, satu-satunya busana yang boleh disandang, adalah dua potong kain berwarna putih, tanpa jahitan, apalagi aksesori.
Ihram mengandung banyak makna. Di antaranya kebersahajaan. Tanpa ada maksud untuk menonjolkan diri sendiri, apalagi terkesan mewah.
Dewasa ini, kesederhanaan menjadi sesuatu yang mungkin sulit ditemukan. Siapa yang mau tampil dengan bersahaja, sebagai suatu pengejawantahan sikap atau jalan hidup sehari-hari, secara konsisten? Tak mau menonjol, terlihat eksklusif, beremewah-mewah, dan mahal?
Dapatkah kita tetap menjadi manusia “berihram” sepulang dari Tanah Suci? Seyogianya kita mampu terus “mengenakan ihram” dalam kehidupan sehari-hari. Mendawamkan kebiasaan-kebiasaan baik yang dilaksanakan saat berada di rumah-Nya dengan hati yang bersih sebagai hamba-Nya. Sebagai manusia yang dhaif, kita harus terus berusaha menjadi lebih baik.
Masih banyak lagi formula hikmah dalam buku ini. Semoga kita dapat mengambil pelajaran darinya.

Habib Sholeh bin Ali Alatas, Tegal: Solusi Dakwah di Pantura

Dalam berdakwah, dia menggunakan metode dakwah para salafush shalih, orang-orang terdahulu, khususnya para Walisanga.
Habib Sholeh Alatas adalah putra pasangan Habib Ali bin Hasan Alatas dan Syarifah Syifa binti Muhammad bin Syech Abubakar Bin Salim. Dia terhitung cucu K.H. Said, pendiri Pondok Pesantren Attauhidiyyah Giren Tegal. Neneknya adalah putri K.H. Said, yang dinikahi Habib Hasan bin Ali Alatas, yang tidak lain kakeknya dari pihak ayah.

Habib Sholeh lahir di Tegal, 14 Juni 1976. Ia anak keempat dari delapan bersaudara.
Pendidikan pertama Habib Sholeh di SD-SMP di kota Tegal.

Pada tahun 1991 dia berangkat nyantri di daerah Pantura, yaitu Pondok Pesantren Al-Anwar Sarang Rembang, yang diasuh oleh seorang ulama sepuh, K.H. Maemun Zubaer. Kurang lebih hampir sembilan tahun dia mondok di pesantren, dan dari Sarang-lah dia perdalam ilmu nahwu dan sharaf, juga fiqih.
Setelah lulus Aliyah di Sarang, Habib Sholeh meneruskan pendidikannya ke Pondok Pesantren Darul Hadits Al-Faqihiyyah kota Malang, tahun 2000 sampai 2002.

Tanggal 11 oktober 2002, Habib Sholeh terbang menuju tanah kakek moyangnya di Hadhramaut, Yaman, dan belajar kurang lebih empat tahun di Darul Musthafa.

Luwes dan Luas 
Sekembalinya ke Indonesia, Habib Sholeh bin Ali Alatas langsung terjun ke masyarakat dengan berdakwah.

Dalam berdakwah, dia menggunakan metode dakwah para salafush shalih, orang-orang terdahulu, khususnya para Walisanga. Yaitu pendekatan yang luwes dan luas. Luwes dalam arti dakwah yang penuh simpati, dan luas dengan makna dakwah yang mempertimbangkan berbagai aspek.

Diakuinya, waktu pertama kali berdakwah, dia menggunakan cara langsung tegas terhadap kemunkaran. Namun setelah dicoba, cara ini tidak berhasil. Pengasuh PP Ribath Nurul Hidayah Tegal ini lalu menggunakan metode dakwah yang simpatik, sehingga tertanam di dalam hati masyarakat rasa cinta dan perlunya kepada ajaran-ajaran Nabi, khususnya wilayah Pantura, yang banyak sekali tempat-tempat hiburan malam.
Dengan demikian, alhamdulillah, Habib Sholeh Alatas kini berhasil mendirikan cabang-cabang majelis ta’lim safari dan ta’lim binaan Ribath Nurul Hidayah di wilayah Pantura dan juga cabang-cabang di wilayah Kabupaten Tegal dan kota Tegal.

Di samping mengasuh pondok, Habib Sholeh juga aktif berdakwah ke pelosok-pelosok desa serta keluar kota Tegal, seperti Jawa Barat, Jawa Timur, juga Kalimantan.

Habib Ahmad bin Ali Abdurrahman Assegaf: Mendoakan Musuh

Ketika pesan disampaikan dengan ikhlas dari hati ke hati, insya Allah, bahkan hati musuh pun akan tersentuh.

Habib Ahmad bin Ali bin Abdurrahman Assegaf adalah pribadi yang hangat, ramah, dan mudah akrab dengan siapa pun. Cara berbicaranya runut dan komunikatif.

Ia lahir pada 18 Oktober 1971 dari keturunan tokoh yang menyandang nama besar sebagai Paku Bumi, tokoh dakwah yang disegani dan pecinta ilmu, yaitu kakeknya, Sayyidil Walid Habib Abdurrahman bin Ahmad Assegaf, dan ayahnya, Ali bin Abdurrahman Assegaf.

Setelah menyelesaikan pendidikan formal dan pesantren di tempat kakeknya, Habib Ahmad langsung dikirim walidnya belajar ke Madinah tahun 1993, berguru kepada Habib Zein bin Ibrahim bin Smith dan Habib Salim bin Abdullah Asy-Syatiri. 

Setelah empat tahun menuntut ilmu di Madinah, Habib Ahmad kembali ke tanah air. Dan mulailah ia meretas jalan dakwah.

Atas permintaan remaja dan masyarakat di Gang AMD XX, Condet, Jakarta Timur, Habib Ahmad mendirikan Majelis Ta’lim Annurul Kassyaf (Cahaya yang Tembus), yang menggelar pengajian setiap Selasa malam. Majelis ini mulai beraktivitas tahun 2003.

Pada 8 Agustus 2008, di lapangan Cawang Kompor, Jln. Dewi Sartika, diadakan tabligh akbar pembukaan majelis dzikir dengan nama yang sama. Habib Ahmad menggelar dzikir dan ziarah setiap malam Sabtu.

Selain itu Habib Ahmad juga mengkader para remaja agar bisa menjadi khatib Jum’at, pemimpin tahlil, shalawat, dan muballigh.
Menurut Habib Ahmad, tantangan yang dihadapi umat Islam semakin lama semakin berat, yang berujung pada pendangkalan aqidah. Jadi, semua orang harus bersatu padu membendungnya. Ia mengutip hadits Rasulullah SAW, “Barang siapa yang tidak peduli dengan urusan kaum muslimin, bukan dari golonganku.”  “Dakwah harus dikemas dengan menarik sehingga tidak membosankan. Selain itu setiap pendakwah harus harus saling mengisi, bukan saling sikut,” ujarnya.   

Dakwah juga banyak tantangan. “Namun kita yakin, karena menjadi pejuang yang membantu Rasulullah SAW. Walau sering misalnya difitnah.”

Habib Ahmad mengingatkan, fitnah itu bisa datang dari kaum muslimin sendiri. “Biasanya hidup mereka tidak beres, karena mereka berhadapan dengan yang punya agama, yaitu Allah SWT.”

Bagaimana menghadapi fitnah? Rasulullah SAW telah memberikan teladan. “Beliau disakiti, tapi tidak pernah membalas. Doa beliau adalah bagaimana musuh masuk surga. Itu yang harus kita teladani.”

Ketika seorang dai yang ikhlas berbicara dari hatinya, apa yang dikataknnya insya Allah akan masuk ke hati yang mendengarkan. Umat merasa tenang, pesannya meresap dalam hati.

Dalam hidup manusia, suka dan duka datang silih berganti. Dan sebagai pamungkas wawancara dengan alKisah, Habib Ahmad berpesan, “Kalau ada masalah, penyakit yang menimpa anggota keluarga, misalnya, bacalah shalawat Thibbil Qulub (Shalawat Syifa’) sebanyak seribu kali per hari.”

Habib Muhammad Ridho bin Yahya: Mengabdi untuk Pendidikan Umat

Tubuhnya yang dulu tegap kini mulai lemah, namun semangatnya dalam berdakwah justru semakin menguat.

Berawal dari nasihat ibunda, Syarifah Nur binti Muhammad binti Syekh Bafaqih, yang berpesan kepada Habib Ridho untuk mengabdikan dirinya di dunia pendidikan. Maka, sedari kecil ia mulai bersekolah di sebuah sekolah Belanda dan di sore harinya ia belajar di sekolah Arab. Belajar di dua tempat berbeda dalam satu hari tentu tidak mudah dan membutuhkan semangat belajar yang sangat tinggi, mengingat dirinya masih kecil saat itu.

Sayangnya hal tersebut hanya berlangsung beberapa tahun. Masuknya Jepang menjajah Indonesia membuatnya terpaksa pindah sekolah. Ia meneruskan pendidikannya di sekolah agama.

Ketika menapaki tingkat sekolah lanjutan atas, ia memutuskan untuk masuk aliyah. Sejak duduk di bangku aliyah ia sudah mulai mandiri dengan mengajar di Ar-Rabithah, Solo.

Mengajar saat belajar bukan alasan untuk membuatnya tak cemerlang dalam pendidikannya. Ia berhasil lulus dari aliyah dengan nilai memuaskan dan meneruskan ke Universitas Gajah Mada di tahun 1953.

Namun, karena lebih berminat pada dunia pendidikan, ia hanya bertahun selama dua tahun di UGM. Ia memutuskan untuk pindah dan menuntut ilmu di sebuah perguruan tinggi di Solo untuk mengejar gelar sarjana muda dalam bidang pedagogi.

Mencoba menghidupi diri sendiri sejak aliyah dengan mengajar adalah cermin bahwa dirinya memiliki semangat tinggi dalam berbakti di dunia pendidikan. Selain itu juga bukti bahwa ia menuruti apa yang diperintahkan oleh orangtuanya.

Namun dalam hidup cobaan selalu ada. Ketika Habib Ridho mulai mencoba untuk berdagang, misalnya, hampir bisa dikatakan bahwa ia tak pernah menggapai sukses, bahkan sampai saat ini. Berbagai dagangan ia coba, mulai dari baju hingga makanan, tapi laba tak kunjung datang.

Kemudian ia teringat pesan Ibunda, yang mengarahkannya untuk mengabdi di dunia pendidikan. Maka, setelah lulus, selain mengajar ia juga mulai berdakwah ke masjid-masjid.

Memilih Negeri Sendiri
Untuk mengembangkan ilmunya dalam berdakwah, ia memutuskan hijrah ke kota Pontianak. Sebenarnya Pontianak bukanlah tujuan sebenarnya, karena ia ditawari menjadi imam besar di Kucing, Malaysia. Ia layak mendapat tawaran itu, mengingat kapasitas keilmuannya, ditambah lagi ia mampu berbahasa Inggris, Arab, dan juga Belanda.

Tak lama ia berada di Pontianak, kemudian ia hijrah untuk berdakwah ke negeri seberang tersebut. “Saya ke sana bukan berarti menerima tawaran menjadi imam besar di sana,” ucapnya. Tak lain tujuannya ke Malaysia adalah untuk merasakan atmosfer dakwah di sana.

Sesampainya di Malaysia, fasilitas mewah menyambutnya. Mulai dari tempat tinggal hingga mobil yang siap mengantarnya ke tempat tujuan untuknya dan untuk keluarganya. Habib Ridho diajak berkeliling untuk berdakwah di beberapa tempat di Malaysia, seperti Kuala Lumpur dan Johor. Ia juga sempat bertemu mufti Serawak.

Setelah empat puluh lima hari berdakwah di Malaysia, ia memutuskan untuk kembali ke Pekalongan, guna berunding dengan keluarga, keputusan apa yang nantinya harus diambilnya.

Sebelum ke Pekalongan, entah apa yang membuatnya kembali singgah sejenak di Pontianak, kota yang juga dikenal dengan nama “Khun Tien” oleh etnis Tionghoa di sana.

Selain kepada keluarga, Habib Ridho juga menceritakan kebimbangannya dalam mengambil keputusan kepada salah seorang gurunya, yaitu Habib Sholeh Al-Haddad, yang meskipun tak mampu melihat ia adalah seorang hafizh atau penghafal Al-Qur’an.

Mendengar kebimbangan tersebut, Habib Sholeh memberikan jawaban singkat namun menenangkan hati, “Kamu lebih baik tinggal di Pontianak, dan dirikan pesantren. Lebih baik tinggal di Pontianak. Di sana masih kurang pendakwah. Saya melihat, kamu sangat potensial.”

Berbekal ucapan Habib Sholeh tersebut, ia kembali merundingkannya dengan keluarga.

Rupanya keluarganya senada dengan Habib Soleh. Mereka lebih memilih untuk tinggal di Pontianak. Memakmurkan negeri sendiri dengan ilmu.

Mendengar hal tersebut, Habib Ridho merasa lega, orang-orang yang dia cintai yang selalu berada di sekitarnya tidak silau akan harta dunia semata. Padahal, jika memilih Kuching, Malaysia, tentu lebih menggiurkan secara ekonomi. Tapi bukan itu yang dicari olehnya dan juga keluarganya.

Salafi Modern 
Begitu menetap di Pontianak, ia membuka pesantren sesuai pesan Habib Sholeh. Namun bukan pesantren miliknya semata, melainkan pesantren yang didirikan oleh beberapa orang, termasuk dirinya. Pesantren As-Salam, begitu namanya.

Pesantren yang didirikan bukan oleh satu orang tentu akan menimbulkan banyak ide dan pemikiran, yang terkadang bersinggungan dengan berbagai kepentingan yang lain. Maka, agar bisa lebih fokus dengan ide-idenya sendiri, ia pun membangun pesantren sendiri. Pesantren tersebut ia beri nama “Pesantren Darun Naim”.

Alasan lain pendirian pesantren ini adalah demi mempersatukan umat Islam, tanpa memandang ras atau etnik. Sebagaimana diketahui, saat itu terjadi pergesekan antara ras di Pontianak.

Gayung bersambut, langkahnya mendirikan pesantren dengan niat mulia tersebut mendapat sambutan positif dari pemerintah setempat, bahkan juga B.J. Habibie, yang menjabat presiden kala itu. “Saya sempat bertemu dengan beliau (B.J. Habibie) dan menyampaikan niat mendirikan pesantren dengan tujuan tersebut. Beliau menyambutnya dengan sangat baik,” kata Habib Ridho.

Meski mendapat sambutan sangat baik dari berbagai pihak, itu semua tak membuatnya serta merta mendapatkan kelancaran. Di tahun pertama pembukaan, hanya ada enam santri. Habib Ridho tak patah arang. Ia beberapa kali meminta masukan ke Habib Salim Asy-Syathiri.

Alhamdulillah, kini Pesantren Darun Naim bisa dibilang cukup maju. Santrinya pun sudah lebih dari 200 orang. Dalam pelajaran bahasa, selain diajarkan bahasa Arab dan Inggris, di pesantren tersebut juga diajarkan bahasa Mandarin, mengingat banyaknya etnis Tionghoa di tempat tersebut.

Habib Ridho juga menerapkan sistem pesantren yang disebutnya “salafi modern”. Ia menyebut demikian karena pengajarannya tetap menggunakan kitab-kitab para salaf. Santri yang belajar di tempat ini juga diharuskan memakai gamis dan imamah. Pesantren ini pun tak jarang dikunjungi tokoh ulama termasyhur, Habib Umar Bin Hafidz misalnya. Kini bukan hanya pesantren yang berdiri di area tersebut, tapi juga ada masjid megah yang tak kalah dengan masjid agung di Pontianak. Ada pula paviliun yang fasilitasnya setara dengan hotel berbintang yang diperuntukkan bagi para tamu guna beristirahat.

Keberkahan Mengajar
Selain mengurus pesantren, Habib Ridho juga membuka majelis, yang terbuka untuk umum.

Pengikut majelisnya bertambah banyak. Bahkan tak jarang ada yang masuk Islam seusai dirinya memberikan pelajaran dan mauizhah hasanah di majleis itu.

“Saya lebih suka mengajar di majelis, karena membuka kitab menerangkan apa yang di dalam kitab sehingga meminimalisasi kesalahan, dibandingkan dakwah atau ceramah. Saya juga takut riya’. Meski dakwah atau ceramah itu juga dibutuhkan dalam menyampaikan sesuatu,” ujarnya.

Habib Ridho tak sendirian dalam mencapai hasil yang diperolehnya saat ini. Tentu semua itu tak lepas dari tuntunan dan doa para guru, yang telah membentuknya menjadi pribadi seperti sekarang. Seperti Ustadz Abdullah bin Hamid Al-Hinduan, Habib Soleh bin Alwi, Ustadz Awab Ba Mifta. Juga selalu ada murid-muridnya yang kini telah menjadi orang terkenal. Sebut saja misalnya Muhammad Assegaf, pengacara ternama, Thoha bin Abdillah, tokoh yang telah malang-melintang di dunia politik, Husein Ibrahim, purnawirawan laksamana muda, juga Salim Segaf Al-Jufri,  menteri sosial.

Habib Ridho benar-benar menghabiskan waktu dan tenaganya untuk berbakti di bidang pendidikan. Di usianya yang lebih dari 84 tahun, ia berpesan untuk semua, “Melakukan sesuatu apa pun itu haruslah ikhlas karena Allah.”

Istana Anak Yatim, Tanah Bumbu: Masyarakat Terhormat

Sebagai anak-anak kesayangan Rasulullah, mereka adalah kelompok masyarakat terhormat dan berhak ada di tempat mulia.

Sesuatu yang tampaknya tidak mungkin menjadi mungkin di Tanah Bumbu: anak yatim punya istana. Masa iya? Benar, kalau sempat, bolehlah Anda mengunjunginya di Desa Bersujud, Simpang Empat, Tanah Bumbu, Kalimantan Selatan. Di atas area tanah yang luas, istana megah itu berdiri gagah di tengah bangunan-bangunan pelengkapnya dan dengan berbagai fasilitas istimewanya. Semua itu milik mereka, anak-anak yatim.

Biasanya, yang namanya istana identik dengan derajat kebangsawanan, kekuasaan, kemewahan, kekayaan, prestise, dan semacamnya. Sebaliknya, dunia anak yatim adalah dunia yang akrab dengan kesedihan, keterpinggiran, ketidakberdayaan, ketidakjelasan masa depan, kehilangan kasih sayang, kenakalan, dan berbagai macam predikat tak simpatik lainnya. Di tangan dr. H.M. Zairullah Azhar, M.Sc., dua hal berlawanan itu bisa “dikawinkan” dan berhasil melahirkan citra baru nan indah: Istana Anak Yatim.
Nama “Istana Anak Yatim” sama sekali bukan sebutan basa-basi, apalagi untuk kepentingan sesaat. Buktinya, bangunan megah itu kini benar-benar telah menjadi istana milik mereka, setelah Ayah, panggilan sayang ribuan anak yatim itu kepada Zairullah, mewakafkannya untuk mereka secara resmi di depan notaris. Agar pengasuhan mereka tetap terawasi dengan baik, ia tetap menjadi pembina utamanya.

Di sini anak yatim bukan hanya dipelihara atau disantuni. Sebagaimana anjuran Rasulullah SAW, di sini mereka amat dimuliakan. Sebisa mungkin kehidupan dan pendidikan mereka tetap terkawal hingga dewasa dan mandiri. Sehingga, konsep memuliakan anak yatim ala Zairullah tidak berhenti sampai pada jaminan makan-minum dan bangunan fisiknya saja.

Untuk itulah beragam investasi, berupa lahan perkebunan sawit, perkebunan karet, dan aset-aset lainnya, telah dikembangkan di beberapa desa. Hasilnya, ditambah sumbangan dari luar yang tak mengikat, digunakan untuk membiayai segala kebutuhan mereka. Sebagai dana abadi untuk masa depan mereka, lagi-lagi, aset-aset perkebunan itu pun telah diwakafkan.

Serba Istimewa
Rasulullah SAW adalah makhluk termulia di alam semesta. Beliau juga digelari Abul Yata¬ma, Bapak Anak Yatim. Wajar bila “anak-anak” beliau dipandang sebagai kelompok masyarakat terhormat dan berada di tempat mulia. Pandangan itulah yang menjadi se¬mangat di balik pendirian Istana Anak Yatim di Tanah Bumbu, sebagai cerminan martabat mereka yang pantas dihormati layaknya penghormatan terhadap orang-orang terhormat.

Orang-orang yang baru melangkahkan kaki masuk area istana pasti akan tercengang. Selain bangunan utama di bagian depan, bangunan demi bangunan lain di sekitarnya juga tak kalah megah. Dari mulai gedung-gedung asramanya, gedung-gedung sekolahnya, bangunan masjidnya, hingga berbagai fasilitas serba istimewa lainnya.

“Yang membuat saya terpana itu apa? Sambil berjalan menyusuri kompleks Istana Anak Yatim, saya pikir, berapa besar biaya untuk menghidupi mereka? Eh, semakin ke belakang, begitu melihat bangunan-bangunan baru, ternyata makin ‘gila’ lagi,” itu kata Irmansyah, seorang manajer di TVRI Pusat Jakarta, saat mengunjungi Istana Anak Yatim. Banyak lagi ekspresi komentar berbagai pihak saat mereka menyaksikan langsung istana tersebut.

Lima gedung asrama berlantai tiga dibangun sedemikian rupa agar nyaman ditinggali. Di tengahnya, pot-pot tanaman hias tersusun rapi, menciptakan suasana yang damai dan asri. Ruang pendopo pun disediakan sebagai tempat mereka berkumpul, dilengkapi sebuah pesawat televisi berukuran besar sebagai salah satu sarana hiburan mereka. Sarana hiburan juga disediakan, seperti lapangan sepakbola dan lapangan bola voli.

Dalam hal makanan, anak-anak istana dimanja dengan konsumsi makanan yang bergizi. Sehari makan tiga kali dengan menu setiap hari berganti, ditambah snack sekali di petang hari. Setiap bulan, tak kurang dari 10 ton beras, 3,75 ton ikan laut, 1,5 ton daging sapi, 25 ribu butir telur, ditambah kebutuhan lainnya, seperti bahan sayuran, gula, susu, snack, dan peralatan kebersihan diri (sabun, sampo, dan pasta gigi), harus tersedia.

Bisa dibayangkan berapa ratus juta rupiah yang harus disiapkan untuk semua kebutuhan itu. Belum lagi uang saku yang diberikan setiap pagi sebesar dua ribu rupiah per anak dan uang saku tambahan 20 ribu-25 ribu rupiah, yang biasa dibagikan sendiri oleh Ayah atau Bunda, sapaan akrab bagi istri Zairullah, setiap Ahad pagi. Pengadaan pakaian, biaya pendidikan dan kesehatan, gaji ustadz dan karyawan, serti biaya rekening listrik dan air bersih, belum termasuk dalam kalkulasi ini.

Pada bangunan induk, sebuah ruangan luas yang berseberangan dengan kamar pribadi Zairullah disulap menjadi kamar tidur yang tertata apik. Setiap malam, lima puluh anak yatim putri tidur di ruang tidur istimewa itu. Esok malamnya, lima puluh putrinya yang lain tidur di sana. Begitu seterusnya, mereka tidur di ruang itu secara bergantian. Siang dan malam, mantan bupati Tanah Bumbu itu memang selalu ingin dekat dengan mereka.

Fasilitas pendidikan yang disediakan pun relatif lengkap, dan tentunya serba gratis, dari mulai taman kanak-kanak hingga tingkat perguruan tinggi. Berbagai program pendidikan diadakan, guru-guru berkualitas pun didatangkan.

Secara berkala, diadakan pertemuan dan pengarahan kepada para guru untuk semakin merapatkan koordinasi dalam proses belajar-mengajar yang diselenggarakan. Setahun sekali, siswa-siswi Darul Azhar, nama sekolah milik Istana Anak Yatim, juga mengadakan study tour, baik ke sekolah lainnya maupun ke perusahaan-perusahaan, untuk menambah pengetahuan dan wawasan mereka.
Di samping pendidikan umum, pendidikan agama sangat ditekankan di sini. Bahkan, materi-materi pelajaran agama mendapat porsi cukup besar dalam kurikulum pendidikan mereka. Bacaan-bacaan semacam Wirdul Lathif dan ratib pun dibiasakan sebagai wirid harian. Pelajaran agama itu ditanamkan sebagai modal utama kepribadian mereka, bila kelak mereka telah beraktivitas di tengah-tengah masyarakat, dalam profesi apa pun.

Inilah sekelumit gambaran suasana yang ada Istana Anak Yatim, Tanah Bumbu. Sedemikian rupa, mereka dimanjakan dengan berbagai fasilitas serba istimewa, pendekatan manusiawi, dan bekal pendidikan yang mencerdaskan. Suasana yang tercipta itu adalah refleksi kesungguhan yang teruji dari sebuah cita-cita mulia, memuliakan anak yatim.

Hanya “Menumpang”
Jum’at 22 April yang lalu, diadakan pengarahan kepada para pelajar Darul Azhar yang akan lulus SLTA, dengan mendatangkan langsung Rektor Unas Pasim, Prof. Dr. Mohammad Baharun, S.H., M.A., atau yang akrab disapa “Habib Muhammad Baharun”. Saat itu, alKisah berkesempatan hadir di sana.

Malam sebelumnya, alKisah juga turut hadir dalam majelis rutin setiap malam Jum’at di Masjid Nurul Islam, yang letaknya tepat di depan Istana Anak Yatim.

Lebih dari seribu orang hadir malam itu, untuk mengikuti pembacaan Maulid Simthud Durar, mau’izhah dari Habib Muhammad Baharun dan Guru Rusydi dari Banjar, yang diakhiri dengan muhasabah bersama yang dipimpin langsung oleh Zairullah.

Menariknya, dalam majelis mingguan tersebut, setiap dua pekan sekali dibagikan doorprize, berupa umrah ke Tanah Suci bagi empat jama’ah, dua laki-laki dan dua perempuan. Alhamdulillah, malam itu juga ada seorang non-muslim yang menyatakan masuk Islam.
Dalam acara pengarahan bagi para siswa yang akan lulus SLTA keesokan harinya, disampaikan bahwa, pada tahun ajaran baru nanti, ada sekitar enam puluh pelajar Darul Azhar yang siap diberangkatkan ke berbagai daerah di Pulau Jawa, seperti Bandung, Jember, Jombang, untuk melanjutkan studi mereka ke tingkat perguruan tinggi. Dua puluh di antaranya akan menjalani kuliah di Universitas Nasional Pasim Bandung. Di Bandung, ada empat jurusan yang akan mereka masuki nanti, yaitu Jurusan Ekonomi, Jurusan Komputer, Jurusan Psikologi, dan Jurusan Sastra (Inggris dan Jepang).

Diberangkatkannya para siswa dari Istana Anak Yatim ini adalah bagian dari komitmen untuk membentuk generasi yang cerdas dan mandiri di kemudian hari, yang ada dalam sosok bersahaja, dr. H.M. Zairullah Azhar, M.Sc.

Di tengah berbagai prestasi mulia yang telah ia torehkan, nyatanya sehari-hari ia tetap orang yang tampil sederhana. Berkopiah putih, baju koko, dan bercelana panjang atau bersarung, terkadang pula bergamis, begitulah tampilannya sehari-hari di Istana Anak Yatim.

Totalitas tanggung jawabnya terhadap anak yatim memang telah teruji, bahkan sampai ia merasa bahwa keberadaannya di Istana Anak Yatim itu hanya menumpang. Sebab, seperti telah disinggung di atas, semua bangunan dan fasilitas di dalamnya, mulai dari bangunan induk istana, asrama, masjid, prasarana pendidikan, mulai dari TK, MI, MTs, MA, hingga STIKes, yang dibangun dengan dana besar, sudah ia wakafkan untuk kepentingan anak yatim. Ia hanya “minta” sekapling tanah di dekat masjid yang dipersiapkan sebagai “rumah masa depan”. Kelak, bila waktunya ia tutup usia, ia ingin dimakamkan di tanah tersebut.

Jumat, 06 Mei 2011

Ketika Sesuatu Tidak Pada Tempatnya

Semasa menjadi Khalifah, pemimpin umat dan negara, Umar bin Khattab menyediakan buku catatan amal. Setiap hari Jumat diperiksanya.
Termasuk dzalim adalah menempatkan sesuatu tidak pada tempatnya. Misalnya sapu diletakkan di dalam lemari. Atau memakai dasi tetapi tidak memakai baju.
Adil bukanlah berarti sama rasa sama rata. Bukanlah memberi semua orang dengan yang sama, melainkan memberi setiap orang sesuai dengan kebutuhan dan haknya.
Allah pun menetapkan perintah dan larangan selaras dengan kemampuan manusiawi hamba-Nya, dan kesanggupan alamiah makhluk-Nya.
Sungguh tidak pantas kalau hendak menyuguhi makanan tamu kebetulan tidak ada mangkok tempat sayur, lalu menggunakan asbak. Meski asbak itu besar dan baru dibeli dari toko, dan sama sekali belum pernah dipergunakan, tapi asbak adalah tempat untuk abu rokok.
Seorang petani desa akan naik kereta api. Menurut kebiasaan di kampungnya, kalau akan memasuki rumah orang, diadatkan untuk membuka sandal atau sepatu. Petani tersebut lalu melepas sandalnya pada waktu akan menaiki tangga kereta api menuju Jakarta. Sandalnya ditinggalkan di emplasemen stasiun Tegal. Pada saat turun di Stasiun Senen, ia mencari-cari sandalnya di emplasemen. Tentu saja sandalnya tidak terbawa.
Dengan bersungut-sungut dia mengomel, “Kurang ajar. Sandalku ada yang mengambil. Keterlaluan. Orang kota jahat-jahat!”
Begitulah. Ia menderita kerugian lantaran ketidaktahuannya. Memang mencari kambing hitam amat mudah. Jauh lebih gampang bila dibanding harus mencari kuman di mata sendiri.
Semasa menjadi Khalifah, pemimpin umat dan negara, Umar bin Khattab menyediakan buku catatan amal. Setiap hari Jumat diperiksanya. Jika ia menjumpai perbuatan buru dalam catatannya, ia mengambil cemeti dan dicambuknya pungguh sendiri sampai menghitam.
Pada waktu meninggal dunia, saat jenazahnya akan dimandikan, orang melihat di punggung Umar penuh dengan bekas-bekas pukulan berwarna hitam meratai sekujur badannya.
Di masa hidupnya, apabila mendengar ayat tentang azab dan neraka, Umar menangis tersedu-sedu. Berbuat benar bukanlah tidak pernah berbuat salah. Berbuat benar adalah menyesal andaikata berbuat salah, dan berniat tidak akan mengulangi kembali kesalahan itu.
Pernah suatu hari, Abdurahman, anak Umar bin Khattab, ketika berada di Mesir menenggak minuman keras. Hukuman yang berlaku bagi peminum minuman keras saat itu, sekalipun tidak sampai mabuk, digunduli kepalanya dan dicambuk 25 kali di depan umum.
Namun Gubernur Mesir Amru bin Ash, memberi dispensasi khusus, Abdurahman hanya digunduli, tidak dicambuk. Itu pun dilakukan di rumah gubernur. Mungkin karena yang melakukan pelanggaran itu anak seorang amirul-mukminin.
Timbullah desas-desus miring, yang akhirnya terdengar juga oleh Umar. Segera ia memanggil Gubernur Mesir, agar segera datang ke Madinah, membawa Abdurahman.
Setelah hadir, mereka dihadapkan ke depan majelis hakim. Umar sendiri yang memimpin persidangan. Sambil menunjukkan kemarahan, ia berkata kepada Abdurahman, “Kelakuanmu tidak menunjukkan status sebagai anak pemimpin orang beriman. Malah leluasa melanggar hukum karena merasa akan dilindungi. Tidak! Aku lebih takut dan malu kepada Allah SWT dan Rasul-Nya jika membiarkanmu bebas dari hukum yang berlaku. Engkau meminum minuman keras, suatu hal amat terlarang. Sudah mendapat hukuman digunduli, tetapi tidak didepan umum dan belum dicambuk. Oleh karena itu, aku perintahkan agar Abdurahman anak Umar, dicambuk di depan umum 50 kali. Sebanyak 25 cambukkan untuk perbuatan meminum alkohol, sedangkan 25 cambukkan lagi untuk sikapnya merasa diistimewakan karena anak Umar.”
Kepada Amru bin Ash, Umar berkata tak kalah keras, “Wahai Amr, mengapa hanya karena engkau takut oleh Umar, maka engkau berani melanggar perintah Allah dan RasulNya? Apa arti seorang Umar anak Khattab di hadapan Allah dan Rasul-Nya jika membiarkan kelakuanmu pilih kasih dalam menegakkan hukum, sedangkan Alalh telah memerintahkan kita berlaku adil? Hanya karena yang berbuat salah Abdurahman anak Umar, engkau bedakan hukumannya daripada yang lain! Padahal Rasulullah SAW telah menyatakan tegas, seandainya Fatimah putri terkasih mencuri, akan tetap dipotong tangannya. Bahkan oleh beliau sendiri. Masih terngiang ucapan beliau tentang kehancuran umat di masa lampau, akibat bertindak pilih kasih dalam menetapkan hukum. Innana ahlakallohul ladzina min qablikum, innahu idza saraka fihimul syarifu tarakuhu, wa idza saraqa fihimul dla'ifu aqamu alaihil haddu (jika yang melanggar kalangan elite, hukum dipermainkan. Akan tetapi jika yang melanggar rakyat biasa, dihukum sebenar-benarnya hukuman).

Tanpa ragu lagi Umar menjatuhkan hukuman 50 kali cambukkan kepada Amru bin Ash, seorang sahabat yang berjasa menyebarkan syiar Islam ke Mesir dan benua Afrika, sekaligus memecatnya dari kedudukan gubernur.
Hukuman kedua dari ayahnya itu membuat Abdurrahman jatuh sakit dan akhirnya meninggal dunia. Hal yang sama terjadi kepada putra Umar yang lain, Abu Syahmah, dalam kasus pelanggaran zina. Umar menolak menghentikan hukuman 100 cambuk atas putranya, meskipun para sahabat mendesak agar beliau menunda sisa hukuman itu karena Abu Syahmah sudah terlihat kritis. Abu Syahmah akhirnya juga meninggal dunia karena hukuman yang diberikan oleh ayahnya sendiri.
Umar bin Khattab bukannya tidak sayang kepada putranya itu. Beliau begitu sayang, beliau menangis seraya memangku jenazah putranya. Tapi rasa cinta, taat dan patuh kepada Allah dan Rasul-Nya lebih besar lagi. Mungkin karena itulah Sayyidina Umar dikenal sebagai figur Lâ yakhâfu fil-lâhi laumata lâ’im, tidak takut terhadap siapa pun dalam mengucapkan dan menegakkan kebenaran.
Imam Al-Ghazali menyebut tokoh yang memiliki keistimewaan semacam ini sebagai pemilik predikat l-khawâsh al-aqwiyâ’ atau orang-orang istimewa yang kuat dalam menjalankan agamanya. Merekalah orang yang paling layak untuk mengemban amanat kekuasaan untuk mengatur rakyat. “Orang-orang khusus yang kuat, tidak selayaknya, menolak kekuasaan… Yang aku maksud dengan orang kuat di sini adalah orang yang tak tergoda oleh dunia, yang tak dikuasai oleh ketamakan, dan dalam melaksanakan perintah Allah tak takut sedikitpun terhadap cercaan orang,” demikian tegas Imam al-Ghazali dalam kitab Ihya’ Ulumiddin.
Sayidina Umar mengucapkan kebenaran dan melakukan nahi munkar sepahit apapun itu. Maka oleh karena itu, setan pun takut kepada beliau. Maksudnya, kemunkaran merasa sangat takut untuk menampakkan diri di hadapan Umar, karena beliau pasti akan memberantasnya dengan keras. “Demi Allah, setiap kali setan menjumpaimu melintasi sebuah jalan, maka ia mengambil  Shallallâhujalan lain yang bukan jalanmu,” demikian pujian Rasulullah untuk Umar.

Kisah Hijrah Bertabur Hikmah: "Jangan Bersedih, Allah Bersama Kita..."

Sehebat apa pun musyrikin membuat rencana untuk menggagalkan hijrahnya Rasul SAW, Allah-lah Sang Perencana terbaik.

Musim semi baru akan berlangsung. Bulan pada malam itu tampak kecil dilatari gugusan bintang yang berserak di atas langit. Udara dingin serasa menggigit kulit. Terpaan angin yang menerbangkan buliran pasir gurun membuat mata terpicing dan terkantuk-kantuk.

Ketika sebahagian besar penduduk Makkah terlelap dalam tidur, Rasulullah SAW tengah berkemas-kemas. Sementara itu beberapa kelompok musyrikin menyatroni lingkungan, mewaspadai gerak-gerik yang mereka incar dan curigai.

Keadaan yang demikian sunyi dan mencekam tidak membuat ciut nyali Rasulullah SAW untuk beranjak keluar dari kediamannya.
Ya, malam itu, permulaan Rabiul Awwal, menjadi langkah awal perubahan yang penuh persiapan masak bagi keberlangsungan Islam di muka bumi.

Nabi masih sempat membisikkan kepada Ali bin Abu Thalib RA, sepupunya yang pemberani, untuk segera menempati ranjangnya seraya berbalut selimut hijau dari Hadhramaut.

Sambil meraup pasir di pelataran rumahnya, beliau mengucap bismillah dan melontarkan pasir dalam genggamannya itu.

Sekejap kemudian, puluhan pemuda musyrikin yang semula menyatroni gerak-gerik Nabi terlelap. Dan Rasulullah pun berlalu dengan selamat. Semua itu bi idznillah, dengan izin Allah Ta'ala.

Kemudian, bersama Abu Bakar bin Abi Quhafah RA, Nabi bertolak ke arah selatan rumahnya menuju sebuah gua di Bukit Tsur.

Sebelum melangkahkan kaki, Rasulullah menatap kota Makkah dari kejauhan. Dengan berlinang air mata, beliau berucap, "Demi Allah, engkaulah bagian bumi Allah yang paling baik dan paling aku cintai. Andai kata tidak diusir, aku tak akan meninggalkanmu, wahai Makkah."

Gua yang sempit dan jarang disinggahi manusia itu dipilih untuk satu tujuan yang tidak diketahui siapa pun kecuali Nabi, Abu Bakar, sahabat yang kelak menjadi mertua beliau, dan ada empat orang, yakni Ali bin Abu Thalib, Abdullah dan Asma (keduanya putra-putri Abu Bakar), serta pembantu Abu Bakar, Amir bin Fuhairah.

Keempat orang itu mendapat tugas yang sangat strategis bagi kesuksesan perjalanan yang amat bersejarah tersebut. Ali berdiam di rumah Rasul SAW untuk mengelabui kaum musyrikin. Abdullah ditugasi untuk memonitor perkembangan berita di kalangan orang-orang kafir Makkah lalu menyampaikannya kepada Rasul pada malam harinya ke tempat persembunyian. Asma saban sore membawa makanan buat Rasul dan ayahnya. Amir bin Fuhairah ditugasi menggembalakan kambing Abu Bakar, memerah susu, dan menyiapkan daging. Apabila Abdullah bin Abu Bakar kembali dari tempat mereka bersembunyi di gua itu, datang Amir mengikutinya dengan kambingnya guna menghapus jejak.

Sementara itu pihak Quraisy berusaha keras mencari jejak Rasul SAW dan Abu Bakar. Pemuda-pemuda Quraisy dengan wajah beringas membawa senjata tajam, mondar-mandir mencari ke segenap penjuru.

Ketika bergerak menuju Gua Tsur, mereka menyambangi bibir gua itu.

Sang pemimpin hendak menerobos masuk, tapi kemudian tidak jadi.

“Kenapa tidak masuk ke dalam?” tanya anak buahnya.

“Setelah aku amati, tampaknya gua ini tak mungkin dijadikan persembunyian. Di dalamnya ada sarang laba-laba dan sarang burung liar hutan. Akal sehatku mengatakan, tidak mungkin ada orang yang masuk ke dalamnya, bahkan tak ada bukti yang menunjukkan jejak orang yang kita cari,” katanya.

Sedangkan di dalam gua, Abu Bakar merasa khawatir. Derap langkah orang-orang itu seakan hampir menemukan mereka. Ia berkata kepada Rasulullah, "Wahai Rasul, andai salah seorang di antara mereka menemukan kita, habislah kita. Jika aku mati, apalah diriku. Tapi jika dirimu yang mati, tamatlah riwayat dakwahmu. Bagaimana jadinya?"

Beliau menjawab dengan balik bertanya, "Apa yang ada di benakmu jika berduanya kita di sini juga ada Allah, yang ketiga di antara kita?"

Maka turunlah firman Allah, “Kalau kamu tidak menolongnya, sesungguhnya Allah telah menolongnya, (yaitu) tatkala orang-orang kafir mengusirnya, sedang dia salah seorang dari dua orang itu, ketika keduanya berada dalam gua. Waktu dia berkata kepada temannya, ‘Janganlah engkau bersedih hati, sesungguhnya Allah bersama kita.’ Maka Allah menurunkan ketenangan kepadanya dan dikuatkan-Nya dengan pasukan yang tidak kamu lihat. Dan Allah menjadikan seruan orang-orang kafir itu rendah, sedangkan kalimah Allah itulah yang tinggi. Dan Allah Mahakuasa dan Bijaksana.” (QS 9: 40).

Setelah meyakini apa yang dicari tampaknya tidak membuahkan hasil, gerombolan musyrikin ini meninggalkan gua tersebut.
Iman Meneguhkan Hati
Tiga hari tiga malam Rasulullah SAW bersama Abu Bakar di dalam gua yang senyap dan gelap itu.

Pada hari ketiga, ketika keadaan sudah tenang, unta untuk kedua insan yang saling mencintai ini didatangkan oleh Amir bin Fuhairah. Asma pun datang menyiapkan makanan.

Dikisahkan, Asma merobek ikat pinggangnya lalu sebelahnya digunakan untuk menggantungkan makanan dan yang sebelah lagi diikatkan, sehingga ia lalu diberi nama Dzat an-Nithaqain (Yang Memiliki Dua Sabuk).

Menjelang siang, Rasul SAW dan Abu Bakar berangkat meninggalkan Gua Tsur. Karena mengetahui pihak Quraisy sangat gigih mencari mereka, mereka mengambil rute jalan yang tidak biasa ditempuh orang. Dengan ditemani Amir bin Fuhairah dan mengupah seorang Badui dari Banu Du’il, Abdullah bin ‘Uraiqith, sebagai penunjuk jalan, mereka berempat menuju selatan Lembah Makkah, kemudian menuju Tihamah di dekat pantai Laut Merah. Sepanjang malam dan siang, mereka menempuh perjalanan yang amat berat.

Selama tujuh hari Rasulullah SAW bersama Abu Bakar, Amir, dan penunjuk jalannya menyusuri padang pasir nan luas dan gersang. Mereka beristirahat di siang hari di bawah panas membara dan kembali melanjutkan perjalanan sepanjang malam, mengarungi padang pasir dengan udara dingin yang menusuk tulang. Hanya iman kepada Allah-lah yang membuat Rasul dan sahabatnya berteguh hati dan perasaan damai menyelimuti.

Saat memasuki daerah kabilah Banu Sahm, Buraidah, kepala kabilah itu menyambut mereka. Perasaan lega semakin terasa. Karena jarak mereka dengan Yatsrib sudah semakin dekat.

Berita tentang hijrahnya Nabi SAW yang akan menyusul kaum muslimin Makkah yang telah tiba sebelumnya sudah tersiar di Yatsrib. Penduduk kota ini sangat mafhum, betapa penderitaan akibat kekerasan kafir Quraisy telah banyak menimpa Nabi SAW. Oleh karena itu kaum muslimin menantikan penuh harap kedatangan Rasulullah dengan hati berbunga-bunga ingin melihatnya, ingin mendengarkan tutur katanya.

Banyak di antara mereka yang belum pernah melihat Nabi, meskipun sudah mendengar ihwalnya dan mengetahui pesona bahasanya serta keteguhan pendiriannya. Semua itu membuat mereka rindu sekali ingin bertemu, ingin melihatnya.

Akhirnya, Rasulullah tiba dengan selamat di kota Madinah pada hari Jum'at, 12 Rabi’ul Awwal tahun 13 Kenabian/12 atau 13 September 622 M. Sambutan penuh suka cita diiringi isak tangis penuh haru dan kerinduan menyeruak di langit Madinah. Syair pun berkumandang:

Thala’al badru ‘alaina
Min Tsaniyyatil Wada’
Wajabasy syukru ‘alaina
Ma da’a lillahi da`
Ayyuhal mab'utsu fina
Ji'ta bil amril mutha'

Telah nampak bulan purnama
Dari Tsaniyyah Al-Wada'
Wajiblah kami bersyukur
Atas masih adanya penyeru kepada Allah
Wahai orang yang diutus kepada kami
Engkau membawa sesuatu yang patut kami taati


Abu Ayyub segera menyokong Nabi. Ia pun tampil menjadi penolongnya. Dengan penuh suka cita, ia telah mempersiapkan bangunan rumah bagi Nabi. "Terserah olehmu, wahai kekasih Allah... bagian mana saja ingin engkau tinggali, kami sangat bahagia bersamamu," kata Abu Ayyub.

Di rumah pemberian Abu Ayyub-lah Nabi SAW memilih untuk tinggal bersama istrinya, Saudah binti Zam’ah, dan kedua putrinya, Fathimah dan Ummu Kultsum.

Hari itu jatuh pada hari Jum’at, sehingga beliau bersegera untuk melaksanakan ibadah Jum'at yang pertama kali diselenggarakan di Madinah.

Empat hari sebelumnya, sebelum tiba di Madinah, di Lembah Wadi Ranunah, Baqi,  tempat penjemuran kurma milik dua orang anak yatim dari Banu Najjar, unta Nabi SAW menghentikan langkahnya. Nabi SAW turun dari untanya dan bertanya, “Kepunyaan siapa tempat ini?”

“Kepunyaan Sahl dan Suhail bin ‘Amr, wahai Rasulullah,” jawab Ma’adh bin ‘Afra, wali kedua anak yatim itu.
Kedua anak yatim itu berharap kepada Nabi Muhammad SAW agar di lahan milik mereka didirikan masjid.
Nabi menyetujuinya, dan itulah masjid yang pertama kali berdiri dalam perjalanan hijrah yang amat berkesan.

"Hendaklah ke Yatsrib"

Sebelum tibanya Rasulullah SAW dan Abu Bakar RA, rombongan pertama Muhajirin telah lebih dulu sampai di Yatsrib beberapa hari sebelumnya.

Aisyah RA meriwayatkan, permusuhan dan penyiksaan terhadap kaum muslimin bertambah berat di Makkah. Mereka datang dan mengadu kepada Rasulullah SAW meminta izin berhijrah.

Pengaduan itu dijawab oleh Rasulullah SAW dengan sabdanya, “Sesungguhnya aku telah diberi tahu bahwa tempat hijrah kalian adalah Yatsrib. Barang siapa ingin hijrah, hendaklah ia menuju Yatsrib.”

Para sahabat pun bersiap-siap, mengemas semua keperluan perjalanan. Bahkan sebahagian besar tidak mempedulikan lagi harta benda milik mereka. Mereka ingin segera melaksanakan perintah Rasul itu.

Mereka berangkat secara sembunyi-sembunyi.

Sahabat yang pertama kali sampai di Madinah ialah Abu Salamah bin Abdul Asad, kemudian Amir bin Rab’ah bersama istrinya, Laila binti Abi Hasymah.

Setelah itu para sahabat Rasulullah SAW datang secara bergelombang. Mereka tiba di rumah-rumah kaum Anshar dan mendapatkan tempat perlindungan.

Siapa Yang Ingin Istrinya Menjanda...

Tidak seorang pun di antara sahabat Rasulullah SAW yang berani hijrah secara terang-terangan kecuali Umar bin Al-Khaththab RA.

Ali bin Abi Thalib RA meriwayatkan, ketika Umar hendak berhijrah, ia membawa pedang, busur, panah, dan tongkat yang diselempangkan di bahunya yang kokoh. Saat meninggalkan rumahnya, ia menuju Ka’bah.

Sambil disaksikan beberapa orang tokoh Quraisy, Umar melakukan thawaf tujuh kali dengan tenang.

Setelah thawaf ia menuju Maqam Ibrahim dan mengerjakan shalat. Seusai shalat, ia berdiri seraya berkata, “Semoga celakalah wajah-wajah kalian! Wajah-wajah inilah yang akan dikalahkan Allah! Barang siapa ingin ibunya kehilangan anaknya, atau istrinya menjadi janda, atau anaknya menjadi yatim piatu, hendaklah ia menghadangku di balik lembah ini.”

Tidak seorang pun berani mengikuti Umar kecuali beberapa kaum lemah yang telah diberi tahu Umar dan dilindungi perjalanannya. Kemudian Umar berjalan dengan gagah dan santai.

Demikianlah, secara berangsur-angsur kaum muslimin melakukan hijrah ke Madinah sehingga tidak ada yang tertinggal di Makkah, kecuali Rasulullah SAW, Abu Bakar RA, Ali RA, orang-orang yang ditahan, orang-orang sakit, dan orang-orang yang belum mampu keluar meninggalkan Makkah, termasuk ayah dan beberapa orang anak Abu Bakar RA.

Hijrah ke Habasyah
Sebelum munculnya peristiwa hijrah ke Madinah, umat Islam pernah melakukan hijrah ke Habasyah.

Kenapa hijrah ke Habasyah? Bukankah masih ada daerah lain yang relatif lebih dekat dari Makkah? Yaman, Syam, Hirah, misalnya.
Ahmad Syalabi, dalam bukunya At-Tarikh al-Islamiyy wa al-Hadharah al-Islamiyyah, menceritakan, tidak dipilihnya Yaman sebagai tempat hijrah, karena negeri ini pada saat itu di bawah kekuasaan Persia. Bazan, gubernur Yaman, malah diperintahkan Kisra, raja Persia, untuk menangkap Nabi SAW hidup-hidup untuk dibunuh. Sedangkan Syam dan Hirah memiliki hubungan ekonomi yang sangat erat dengan suku Quraisy, suku yang paling keras memusuhi Nabi.

Pilihan Nabi jatuh ke Habasyah (Ethiopia, kini). Meskipun jauh, raja Habasyah dikenal adil dan bijak. Apalagi Nabi memiliki hubungan baik, meski keduanya berbeda keyakinan pada saat itu. Itu terlihat dari jawaban raja Habasyah atas surat dakwah yang  Nabi kirimkan. 

Habasyah adalah negeri yang terletak di selatan benua Afrika. Untuk mencapainya, perjalanan berbulan-bulan. Namun jarak yang sangat jauh itu tidak menjadi hambatan bagi mereka yang beriman, yakni para sahabat sejati Rasulullah SAW. Panasnya gurun, tingginya gelombang lautan, dan para penyamun yang berkeliaran, seolah tidak lagi dipikirkan para sahabat radhiyallahu ‘anhum ajma’in.

Hijrah ke Habasyah terjadi pada tahun kelima setelah kenabian. Najasyi, sang raja Habasyah, sangat menaruh perhatian dengan kaum muslimin yang berhijrah ke negerinya, meskipun ia seorang Nasrani. Nabi mengizinkan para sahabat dengan mengatakan, “Pergilah ke Habasyah. Rajanya tak pernah berbuat zhalim. Tinggallah di sana agar kalian bebas dari penderitaan seperti yang kalian alami di sini.”

Hijrah Habasyah terjadi dalam dua fase. Fase pertama berangkat sebanyak 10 orang laki-laki dan lima perempuan dengan kepala rombongannya Utsman bin Maz’un, atau Utsman bin Affan RA. Fase kedua terjadi selang tiga-empat bulan. Hijrah fase kedua ini dilakukan oleh 83 orang laki-laki dan 19 orang perempuan, di bawah pimpinan Ja’far bin Abu Thalib RA.

Dari dua fase ini, beberapa orang ada yang menetap di Habasyah, sedangkan sebahagian lainnya berpindah ke Madinah, setelah peristiwa hijrah ke Madinah.

Setelah fase pertama, intimidasi orang-orang Quraisy kian meningkatkan. Maka, Nabi SAW kembali menganjurkan hijrah ke Habasyah.

Seperti pada hijrah pertama, kaum muslimin disambut dengan baik oleh Raja Najasyi.

Hujjah Ja’far yang Memukau

Musyrikin Makkah marah. Mereka merasa kecolongan dengan hijrahnya para sahabat ke Habasyah. Mereka berkumpul, mencari cara agar kaum muslimin yang berhijrah itu bisa diekstradisi ke Makkah. Kaum musyrikin bersepakat untuk melakukan perundingan dengan Raja Najasyi dengan mengutus Abdullah bin Abi Rabiah dan Amr bin Al-Ash.

Untuk memuluskan perundingan, musyrikin Makkah membawakan berbagai macam barang berharga untuk Raja dan bawahannya. Setiap panglima akan mendapatkan hadiah khusus. Pesan orang-orang kafir Quraisy kepada Abdullah bin Abi Rabiah dan Amr bin Al-Ash, “Ketika bertemu Raja, serahkan hadiah yang telah disiapkan untuknya. Lalu, mintalah agar Raja mau menyerahkan kaum muslim tanpa ia harus menanyakan persetujuan kaum muslim lebih dulu.”

Abdullah bin Abi Rabiah dan Amr bin Al-Ash pun berangkat.

Sesampainya di sana, kepada setiap panglima yang ditemui, mereka memberikan hadiah khusus dan mengatakan, “Orang-orang bodoh Makkah datang ke negeri kalian. Mereka meninggalkan agama kaum Makkah, tapi tak juga memeluk agama kalian. Dan, justru membawa agama yang menyimpang. Kami tidak paham agama itu. Tentu kalian juga tidak paham.

Tujuan kami ke sini adalah untuk memulangkan mereka ke Makkah. Dan, raja kalian tidak perlu meminta pendapat orang-orang bodoh itu lebih dulu. Kami lebih paham tentang mereka.”

Abdullah dan Amr kemudian bertemu dengan Raja Najasyi dan menyampaikan seperti apa yang mereka katakan kepada para panglima.

Raja tampak serius mendengarkan ucapan mereka.

“Tidak! Aku tidak akan menyerahkan mereka kepada kalian. Setiap orang yang datang ke negeri ini akan mendapatkan perlindunganku,” kata Raja kepada Abdullah dan Amr.

“Aku akan memanggil salah seorang di antara mereka untuk memastikan kebenaran ucapan kalian.

Jika mereka seperti yang kalian ceritakan, aku akan mengembalikan mereka kepada kalian. Jika ternyata tidak, aku akan tetap melindungi mereka. Aku tetap akan menjamin keamanan orang-orang yang datang ke negeriku.”

Raja lalu menyuruh salah seorang punggawa untuk memanggil para sahabat.

Mereka khawatir akan terjadi sesuatu atas pemanggilan itu. Mereka saling tanya, “Apa yang akan kita katakan kepada Raja?”
Yang lain menjawab, “Kita akan mengatakan apa yang kita tahu. Kita akan mengatakan apa yang diperintahkan Nabi, apa adanya.”

Para sahabat pun menghadap Raja.

Di samping Raja, para pendeta membuka kitab suci mereka.

“Agama apa yang kalian peluk sehingga kalian memisahkan diri? Mengapa kalian tidak memeluk agamaku saja? Atau agama yang lain?” tanya Raja kepada para sahabat.

Ja‘far bin Abu Thalib RA berdiri lalu maju ke depan Raja. Dengan mantap, ia menjawab, “Baginda Raja, dulu kami adalah kaum Jahiliyah. Kami menyembah berhala, memakan bangkai, melakukan kejahatan, memutus hubungan persaudaraan, tak menghormati tetangga, yang kuat menindas yang lemah, melakukan apa saja yang buruk yang seharusnya tidak pantas pada diri kami sebagai manusia. Begitulah keadaan kami. Sampai kemudian Allah mengutus seorang nabi yang lahir dari bangsa kami sendiri….”

Ja‘far berbicara cukup panjang, menceritakan ihwal Nabi, akhlaqnya, ajaran yang dibawanya, yang mengajarkan kebaikan. Ia ceritakan semuanya apa adanya.

“Dan oleh sebab semua itu, orang-orang Quraisy menyiksa kami agar meninggalkan agama kami dan kembali menyembah berhala. Mereka menekan, menindas, dan menzhalimi kami. Sebab itulah kami memisahkan diri dari kaum kami dan mencari perlindungan di negerimu.

Baginda Raja, di sini kami berharap tidak akan mendapat perlakuan zhalim,” kata Ja‘far menutup pembicaraannya.

Raja Najasyi terpukau dengan penjelasan Ja‘far. Ia kemudian memandang para sahabat yang berhijrah ke negerinya. Lalu, kembali memandang Ja‘far.

“Apakah engkau bisa menunjukkan sesuatu yang Nabi terima dari Allah?”

“Ya!”

“Baiklah! Tunjukkan kepadaku dan bacakan!”

Lalu Ja‘far membacakan surah Maryam, yang mengisahkan kelahiran Nabi Isa, kesucian Maryam, dan lain-lain.

Raja Najasyi dan para pendeta menyimak dengan seksama. Ayat demi ayat yang dibacakan Ja‘far membuat mereka menangis. Linangan air mata mengalir hingga membasahi jenggot Raja. Seluruh ruangan hening.

Raja Najasyi menyeka air matanya, kemudian berkata, “Agama kalian dan agama yang dibawa Nabi Isa adalah dua pancaran cahaya yang keluar dari lentera yang sama.”

Raja Najasyi lalu menoleh kepada Abdullah bin Abi Rabiah dan Amr bin Al-Ash, utusan musyrikin Makkah.

“Pulanglah kalian! Sungguh, aku tidak akan menyerahkan mereka kepada kalian. Mereka tidak boleh disakiti oleh siapa pun!”
Abdullah bin Abi Rabiah dan Amr bin Al-Ash pun berlalu dari hadapan Raja Najasyi.

Malam itu mereka berpikir panjang. Apa yang akan mereka katakan soal kegagalan ini di hadapan tokoh-tokoh musyrikin? Bagaimana jika Muhammad bin Abdullah SAW mencibir mereka?

Amr bin Al-Ash berpikir keras hingga ia mendapatkan ide baru. Ia berkata kepada rekannya, Abdullah, “Besok aku akan kembali menghadap Raja! Aku akan menyiasati agar Raja mau menghukum mereka! Kita tidak boleh pulang dengan tangan hampa setelah melewati perjalanan melelahkan ini dan dengan biaya mahal pula!”

Tapi Abdullah bin Abi Rabiah tidak setuju. “Sebaiknya kau tidak melakukannya, Amr!” kata Abdullah. “Meski berselisih dengan kita, para Muhajirin itu sebagian adalah kerabat kita!”

Namun Amr tetap bersikeras dengan rencananya. Ia merasa, rencananya akan berhasil.

Esok harinya, Amr mendapatkan izin untuk menemui Raja. Dengan penuh keyakinan, Amr menghadap Raja Najasyi.

“Baginda Raja yang mulia, Ja‘far dan kawan-kawannya telah mengeluarkan kata-kata keji dan benar-benar tidak pantas untuk Isa bin Maryam!” kata Amr memulai rekayasa.

“Apa yang mereka katakan?”

“Silakan Tuan suruh salah seorang punggawa untuk memanggil mereka. Lalu, Tuan tanyakan langsung kepada mereka.”
Kemudian para sahabat dipanggil.

Mereka terkejut dengan pemanggilan itu. Tapi mereka tahu, itu adalah rekayasa Amr. Mereka khawatir jika Raja benar-benar terpengaruh oleh rekayasa itu kemudian berubah pikiran. Mereka benar-benar gentar, tidak pernah mereka segentar itu.

“Apa yang akan kita katakan kepada Raja soal Isa putra Maryam? Raja tidak akan menerima perkataan kita,” kata mereka saling tanya.

“Kita akan mengatakan apa yang diceritakan Al-Quran. Dan, apa pun yang akan terjadi nanti, kita harus siap menghadapi,” jawab Ja‘far dengan tegas.

Para sahabat Muhajirin menghadap Raja Najasyi.

Raja pun langsung melontarkan pertanyaan, “Apa yang kalian tahu tentang Isa?”

Ja‘far berdiri lalu menjawab dengan tegas, “Kami mengetahui Isa bin Maryam seperti yang kami terima dari nabi kami. Yakni bahwa Isa adalah putra Maryam, dia hamba Allah, utusan Allah, ruh Allah, dan kalimat Allah yang dititipkan kepada Maryam, Sang Perawan Suci.”

Selesai dengan jawaban singkat itu, Ja‘far kembali duduk.

Raja merundukkan badan dan memukulkan tangannya ke lantai, lalu memungut tongkat dan mengangkatnya ke atas seraya berkata, “Sungguh, Ja‘far! Jika bukan karena Isa bin Maryam, pastilah tongkat ini sudah hancur!”

Para panglima yang hadir seketika menundukkan kepala dan saling merapat. Seperti ada penyesalan dalam diri mereka, yang telah menerima sogokan dari utusan kaum Quraisy itu.

“Kalian rapuh!” kata Raja, memaki para panglimanya itu.

Raja Najasy kemudian memandangi para sahabat Muhajirin dan berkata, “Keluarlah! Kalian aman! Orang yang mencaci kalian akan menyesal!” Ia mengulang-ulang perkataannya itu sampai tiga kali.

“Aku tidak akan menyakiti kalian meski mendapat iming-iming gunung emas!”

Kemudian kepada para panglimanya, Raja berkata, “Sekarang, kembalikan hadiah-hadiah itu kepada Abdullah dan Amr!”

Abdullah bin Abi Rabiah dan Amr bin Al-Ash berlalu dari hadapan Raja Najasyi dengan penuh kehinaan. Sementara, para sahabat Muhajirin tetap menikmati tinggal di negeri damai dengan seorang raja yang baik hati.

Subhanallah, begitu besar jasa Raja Najasyi bagi para sahabat. Alhamdulillah, beberapa tahun kemudian, ia masuk Islam.

Nabi SAW sendiri dan beberapa orang sahabat lainnya tidak berhijrah ke Habasyah. Pada saat itu Nabi masih memiliki sejumlah orang dekat yang selalu melindunginya, seperti pamannya, Abu Thalib, dan istrinya, Khadijah binti Khuwailid.

Hijrahnya Ulama dan Sufi

Perjalanan hijrah merupakan sunnah para nabi dan rasul, yang kemudian diikuti para ulama dan kaum sufi. Hijrah di kalangan ulama dan sufi di masa salaf adalah hijrah yang penuh warna. Ada di antara mereka yang berhijrah lantaran kekejian penguasa, jalan pertaubatan, melakukan rihlah ilmiyah, melaksanakan dakwah, ada pula untuk menyampaikan ilmu pengetahuan. Mereka menyambangi satu kota ke kota lainnya, satu negeri ke negeri lainnya, baik berkendara kuda atau unta maupun berjalan kaki.

Diceritakan dalam kitab Siyar A’lam An-Nubala dari jalan periwayatan Al-Fadhl bin Musa bahwa Al-Fudhail bin Iyadh dulunya seorang penyamun yang sering menghadang orang di daerah antara Abu Wardah dan Sirjis.

Suatu ketika, ia terpikat dengan seorang perempuan. Ia ingin melampiaskan hasratnya terhadap perempuan itu. Ia lalu menaiki tembok rumah si perempuan. Tiba-tiba ia mendengar seseorang membaca ayat yang berbunyi, "Belumkah datang waktunya bagi orang-orang yang beriman untuk tunduk hati mereka guna mengingat Allah serta tunduk kepada kebenaran yang telah turun (kepada mereka) dan janganlah mereka seperti orang-orang yang sebelumnya telah turun Al-Kitab kepadanya kemudian berlalulah masa yang panjang atas mereka lalu hati mereka menjadi keras, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasiq.” (Al-Hadid: 16).

Al-Fudhail langsung bergumam, “Tentu saja, wahai Rabbku. Sungguh telah tiba saatku (untuk bertaubat).” Lalu ia tak jadi melaksanakan hasratnya itu.

Pada malam itu juga ketika ia bersembunyi di balik reruntuhan bangunan, ada sekelompok orang yang tengah lewat.
Sebagian mereka berkata, “Kita jalan terus?”

Yang lain menjawab, “Ya, kita jalan terus sampai pagi. Karena biasanya Al-Fudhail menghadang kita di jalan ini.”

Al-Fudhail lalu merenung dan berkata, "Aku menjalani kemaksiatan-kemaksiatan di malam hari dan orang-orang di situ ketakutan kepadaku. Tidaklah Allah menggiringku kepada mereka ini melainkan agar aku berhenti dari kemaksiatan ini. Ya Allah, sungguh aku telah bertaubat kepada-Mu dan aku jadikan taubatku itu dengan tinggal di Baitullah Al-Haram.”

Ia habiskan satu masa di Kufah untuk mengaji dengan ulama di negeri itu, seperti Al-A’masyi, ‘Atha bin As-Su'aib, Shafwan bin Salim. Kemudian ia pergi menuju Makkah.

Di Makkah, ia bekerja berjualan air dipikul untuk mencukupi kebutuhan dirinya dan keluarganya. Ia tidak mau menerima pemberian dari para pemuka masyarakat, karena kehati-hatiannya untuk sesuatu yang halal.

Kisah Al-Fudhail hanya satu dari sekian contoh ulama dan kaum sufi salaf yang melakukan hijrah dalam kehidupannya untuk menuju keridhaan Allah SWT.

Kisah Al-Muhajir Ahmad bin Isa Ar-Rumi

Satu contoh lagi terdapat dalam perikehidupan dzurriyyah Rasulullah SAW yang bernama Imam Ahmad, yang bergelar “Al-Muhajir”. Gelar Al-Muhajir disematkan atas dirinya lantaran kesanggupannya mengikuti tradisi para nabi, rasul, dan sahabat.

Imam Ahmad adalah putra Isa bin Muhammad An-Naqib bin Ali Al-Uraidhi bin Ja'far Ash-Shadiq bin Muhammad Al-Bagir bin Ali Zainal Abidin bin Husein As-Sibth bin Ali RA dan Sayyidah Fathimah Az-Zahra putri Rasulullah SAW.

Ia adalah salah seorang putra dari 30 putra Isa Ar-Rumi, yang dilahirkan pada tahun 260 H/872 M, dan melakukan hijrah yang amat jauh dari Bashrah ke Hadhramaut.

Pada tahun 317 H/928 M, ia melakukan perjalanan ke Madinah. Di Madinah ia menetap setahun. Kemudian ia melanjutkan perjalanan ke Makkah untuk menunaikan ibadah haji dan juga menyempatkan diri untuk belajar kepada Syaikh Abu Thalib Al-Makki. Dari Makkah ia melanjutkan perjalanan ke Hajrain hingga berakhir di Husaisah, Hadhramaut.

Dalam rihlah yang sangat jauh ini, ia membawa 70 orang anggota keluarganya, termasuk istrinya, Syarifah Zainab binti Abdullah bin Al-Hasan bin Ali Al-Uraidhi, putranya, Ubaidillah, dan ketiga cucunya, Alwi, Jadid, dan Ismail Al-Bashri.

Kepindahan Al-Muhajir dari Bashrah tidak terlepas dari kekangan dan kebuntuan yang dialaminya akibat rezim Abbasiyah yang berkuasa di Baghdad. Sebagai keturunan Sayyidina Ali RA, yang disebut kelompok Alawiyyin, ia sering kali menjadi korban kepentingan politik di Baghdad. Saat itu, kelompok Alawiyyin memiliki pengaruh yang sangat besar dalam bidang politik.

Ia dan segenap keluarganya memilih untuk menjauhkan diri dari kekuasaan. Sebagaimana ia tunjukkan dengan menitikberatkan aktivitas kehidupan dalam keluarganya dengan ilmu dan ketaqwaan. Ia memilih jalan hidup kaum sufi, sekalipun ia memiliki kedudukan terhormat dan disegani serta kekayaan yang banyak.

Akhir perjalanan di Husaisah telah menghantarkannya kepada posisi yang sangat penting bagi perjalanan dzurriyyah Rasulullah SAW. Ia menerangi kehidupan Hadhramaut dengan ilmu dan amal. Kesesatan menghilang akibat sinaran petunjuk kebenaran yang dibawanya. Dari Hadhramaut-lah kemudian cahaya keluarga Nabi SAW bersinar ke berbagai penjuru.

Imam Ahmad Al-Muhajir wafat pada tahun 345 H/956 M di Husaisah, Hadhramaut, dengan meninggalkan keturunan yang mewarisi datuk-datuknya yang mulia dengan ilmu dan adab.

Hijrah dalam Konteks Kekinian

Hijrah dalam artian fisik yang dinyatakan telah berakhir setelah Fathu Makkah, sebagaimana sabda Nabi, "La hijrata ba'dal fath" (Tidak ada hijrah lagi setelah Pembebasan Makkah).

Namun, semangat hijrah harus tetap ada dalam setiap sanubari muslimin, yakni hijrah dari sisi jiwa, berdasarkan hadits “...wal muhajiru man hajara ma nahallahu ‘anhu.” (orang yang hijrah ialah orang yang berpaling dari apa yang dilarang Allah). Yakni hijrah dengan meninggalkan semua perbuatan yang dibenci oleh Allah SWT. Persis seperti kebencian Rasulullah dan sahabat atas kezhaliman kaum musyrikin, upaya Al-Fudhail meninggalkan kezhaliman dirinya, dan upaya Imam Al-Muhajir meninggalkan kezhaliman yang menimpa dirinya dan keluarganya.

Untuk dapat melakukan hijrah ruhaniyah ini dibutuhkan pemahaman yang sempurna akan hakikat dosa dan kemaksiatan. Kemaksiatan yang dapat mempekatkan hati seseorang, sebagaimana sabda Nabi, "Idza adznabal ‘abdu nuqitha fi qalbihi nuqthatan sauda’-a" (Apabila seorang hamba berbuat dosa, diberi sebuah titik hitam di dalam hatinya).

Nabi SAW, sahabat, ulama, waliyullah, dan dzurriyyah adalah contoh terbaik, model tercanggih, saat kita ingin memahami hijrah dalam konteks kekinian. Pemahaman yang mendalam tentang kisah hijrah ini akan mendatangkan pelajaran bagi kita untuk mengenal hakikat diri sebagai hamba Allah SWT, yang di dunia ini hanyalah pengembara. Persis seperti yang dikatakan Nabi SAW, "Kun fi dun-ya ka-annaka gharibun aw 'abiru sabiilin" (Jadilah engkau di dunia laksana orang asing atau orang yang tengah mengembara).