Tubuhnya yang dulu tegap kini mulai lemah, namun semangatnya dalam berdakwah justru semakin menguat.
Berawal dari nasihat ibunda, Syarifah Nur binti Muhammad binti Syekh Bafaqih, yang berpesan kepada Habib Ridho untuk mengabdikan dirinya di dunia pendidikan. Maka, sedari kecil ia mulai bersekolah di sebuah sekolah Belanda dan di sore harinya ia belajar di sekolah Arab. Belajar di dua tempat berbeda dalam satu hari tentu tidak mudah dan membutuhkan semangat belajar yang sangat tinggi, mengingat dirinya masih kecil saat itu.
Sayangnya hal tersebut hanya berlangsung beberapa tahun. Masuknya Jepang menjajah Indonesia membuatnya terpaksa pindah sekolah. Ia meneruskan pendidikannya di sekolah agama.
Ketika menapaki tingkat sekolah lanjutan atas, ia memutuskan untuk masuk aliyah. Sejak duduk di bangku aliyah ia sudah mulai mandiri dengan mengajar di Ar-Rabithah, Solo.
Mengajar saat belajar bukan alasan untuk membuatnya tak cemerlang dalam pendidikannya. Ia berhasil lulus dari aliyah dengan nilai memuaskan dan meneruskan ke Universitas Gajah Mada di tahun 1953.
Namun, karena lebih berminat pada dunia pendidikan, ia hanya bertahun selama dua tahun di UGM. Ia memutuskan untuk pindah dan menuntut ilmu di sebuah perguruan tinggi di Solo untuk mengejar gelar sarjana muda dalam bidang pedagogi.
Mencoba menghidupi diri sendiri sejak aliyah dengan mengajar adalah cermin bahwa dirinya memiliki semangat tinggi dalam berbakti di dunia pendidikan. Selain itu juga bukti bahwa ia menuruti apa yang diperintahkan oleh orangtuanya.
Namun dalam hidup cobaan selalu ada. Ketika Habib Ridho mulai mencoba untuk berdagang, misalnya, hampir bisa dikatakan bahwa ia tak pernah menggapai sukses, bahkan sampai saat ini. Berbagai dagangan ia coba, mulai dari baju hingga makanan, tapi laba tak kunjung datang.
Kemudian ia teringat pesan Ibunda, yang mengarahkannya untuk mengabdi di dunia pendidikan. Maka, setelah lulus, selain mengajar ia juga mulai berdakwah ke masjid-masjid.
Memilih Negeri Sendiri
Untuk mengembangkan ilmunya dalam berdakwah, ia memutuskan hijrah ke kota Pontianak. Sebenarnya Pontianak bukanlah tujuan sebenarnya, karena ia ditawari menjadi imam besar di Kucing, Malaysia. Ia layak mendapat tawaran itu, mengingat kapasitas keilmuannya, ditambah lagi ia mampu berbahasa Inggris, Arab, dan juga Belanda.
Tak lama ia berada di Pontianak, kemudian ia hijrah untuk berdakwah ke negeri seberang tersebut. “Saya ke sana bukan berarti menerima tawaran menjadi imam besar di sana,” ucapnya. Tak lain tujuannya ke Malaysia adalah untuk merasakan atmosfer dakwah di sana.
Sesampainya di Malaysia, fasilitas mewah menyambutnya. Mulai dari tempat tinggal hingga mobil yang siap mengantarnya ke tempat tujuan untuknya dan untuk keluarganya. Habib Ridho diajak berkeliling untuk berdakwah di beberapa tempat di Malaysia, seperti Kuala Lumpur dan Johor. Ia juga sempat bertemu mufti Serawak.
Setelah empat puluh lima hari berdakwah di Malaysia, ia memutuskan untuk kembali ke Pekalongan, guna berunding dengan keluarga, keputusan apa yang nantinya harus diambilnya.
Sebelum ke Pekalongan, entah apa yang membuatnya kembali singgah sejenak di Pontianak, kota yang juga dikenal dengan nama “Khun Tien” oleh etnis Tionghoa di sana.
Selain kepada keluarga, Habib Ridho juga menceritakan kebimbangannya dalam mengambil keputusan kepada salah seorang gurunya, yaitu Habib Sholeh Al-Haddad, yang meskipun tak mampu melihat ia adalah seorang hafizh atau penghafal Al-Qur’an.
Mendengar kebimbangan tersebut, Habib Sholeh memberikan jawaban singkat namun menenangkan hati, “Kamu lebih baik tinggal di Pontianak, dan dirikan pesantren. Lebih baik tinggal di Pontianak. Di sana masih kurang pendakwah. Saya melihat, kamu sangat potensial.”
Berbekal ucapan Habib Sholeh tersebut, ia kembali merundingkannya dengan keluarga.
Rupanya keluarganya senada dengan Habib Soleh. Mereka lebih memilih untuk tinggal di Pontianak. Memakmurkan negeri sendiri dengan ilmu.
Mendengar hal tersebut, Habib Ridho merasa lega, orang-orang yang dia cintai yang selalu berada di sekitarnya tidak silau akan harta dunia semata. Padahal, jika memilih Kuching, Malaysia, tentu lebih menggiurkan secara ekonomi. Tapi bukan itu yang dicari olehnya dan juga keluarganya.
Salafi Modern
Begitu menetap di Pontianak, ia membuka pesantren sesuai pesan Habib Sholeh. Namun bukan pesantren miliknya semata, melainkan pesantren yang didirikan oleh beberapa orang, termasuk dirinya. Pesantren As-Salam, begitu namanya.
Pesantren yang didirikan bukan oleh satu orang tentu akan menimbulkan banyak ide dan pemikiran, yang terkadang bersinggungan dengan berbagai kepentingan yang lain. Maka, agar bisa lebih fokus dengan ide-idenya sendiri, ia pun membangun pesantren sendiri. Pesantren tersebut ia beri nama “Pesantren Darun Naim”.
Alasan lain pendirian pesantren ini adalah demi mempersatukan umat Islam, tanpa memandang ras atau etnik. Sebagaimana diketahui, saat itu terjadi pergesekan antara ras di Pontianak.
Gayung bersambut, langkahnya mendirikan pesantren dengan niat mulia tersebut mendapat sambutan positif dari pemerintah setempat, bahkan juga B.J. Habibie, yang menjabat presiden kala itu. “Saya sempat bertemu dengan beliau (B.J. Habibie) dan menyampaikan niat mendirikan pesantren dengan tujuan tersebut. Beliau menyambutnya dengan sangat baik,” kata Habib Ridho.
Meski mendapat sambutan sangat baik dari berbagai pihak, itu semua tak membuatnya serta merta mendapatkan kelancaran. Di tahun pertama pembukaan, hanya ada enam santri. Habib Ridho tak patah arang. Ia beberapa kali meminta masukan ke Habib Salim Asy-Syathiri.
Alhamdulillah, kini Pesantren Darun Naim bisa dibilang cukup maju. Santrinya pun sudah lebih dari 200 orang. Dalam pelajaran bahasa, selain diajarkan bahasa Arab dan Inggris, di pesantren tersebut juga diajarkan bahasa Mandarin, mengingat banyaknya etnis Tionghoa di tempat tersebut.
Habib Ridho juga menerapkan sistem pesantren yang disebutnya “salafi modern”. Ia menyebut demikian karena pengajarannya tetap menggunakan kitab-kitab para salaf. Santri yang belajar di tempat ini juga diharuskan memakai gamis dan imamah. Pesantren ini pun tak jarang dikunjungi tokoh ulama termasyhur, Habib Umar Bin Hafidz misalnya. Kini bukan hanya pesantren yang berdiri di area tersebut, tapi juga ada masjid megah yang tak kalah dengan masjid agung di Pontianak. Ada pula paviliun yang fasilitasnya setara dengan hotel berbintang yang diperuntukkan bagi para tamu guna beristirahat.
Keberkahan Mengajar
Selain mengurus pesantren, Habib Ridho juga membuka majelis, yang terbuka untuk umum.
Pengikut majelisnya bertambah banyak. Bahkan tak jarang ada yang masuk Islam seusai dirinya memberikan pelajaran dan mauizhah hasanah di majleis itu.
“Saya lebih suka mengajar di majelis, karena membuka kitab menerangkan apa yang di dalam kitab sehingga meminimalisasi kesalahan, dibandingkan dakwah atau ceramah. Saya juga takut riya’. Meski dakwah atau ceramah itu juga dibutuhkan dalam menyampaikan sesuatu,” ujarnya.
Habib Ridho tak sendirian dalam mencapai hasil yang diperolehnya saat ini. Tentu semua itu tak lepas dari tuntunan dan doa para guru, yang telah membentuknya menjadi pribadi seperti sekarang. Seperti Ustadz Abdullah bin Hamid Al-Hinduan, Habib Soleh bin Alwi, Ustadz Awab Ba Mifta. Juga selalu ada murid-muridnya yang kini telah menjadi orang terkenal. Sebut saja misalnya Muhammad Assegaf, pengacara ternama, Thoha bin Abdillah, tokoh yang telah malang-melintang di dunia politik, Husein Ibrahim, purnawirawan laksamana muda, juga Salim Segaf Al-Jufri, menteri sosial.
Habib Ridho benar-benar menghabiskan waktu dan tenaganya untuk berbakti di bidang pendidikan. Di usianya yang lebih dari 84 tahun, ia berpesan untuk semua, “Melakukan sesuatu apa pun itu haruslah ikhlas karena Allah.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar