Mereka tidak memiliki perhatian terhadap upaya-upaya bagaimana menimbulkan gejolak politik di tengah-tengah masyarakat. Mereka terjun dan bergerak hanya pada satu orientasi, agar Islam dapat menyebar ke seluruh penujuru dunia, dengan akhlaq yang luhur diutamakan, keadilan, kasih sayang, dan juga tawassuth.
Pada edisi 01/2011,
alKisah telah menurunkan rihlah ilmiyah Abuya K.H. Saifuddin Amsir ke kota Tarim dalam rangka mengikuti Konferensi Ulama Islam se-Dunia, yang berlangsung tanggal 21 hingga 24 Desember 2010. Pada edisi kali ini,
alKisah kembali memuat tulisan tentang sisi-sisi penting keikutsertaan Abuya Saifuddin, sebagai perwakilan ulama Indonesia, dalam konferensi tersebut.
Pada Rabu (25/5),
alKisah kembali mewawancarai Abuya Saifuddin untuk menceritakan kembali sisi-sisi penting yang perlu diketahui oleh dunia Islam seputar konferensi dunia yang digagas oleh tokoh-tokoh ulama Tarim-Hadhramaut itu. Apa saja urgensi yang dihasilkan dari konferensi dan kontribusi besar yang diberikannya bagi dunia Islam, dan Indonesia pada khususnya.
Latar belakang keikutsertaan Abuya Saifuddin pada rihlah ilmiyah ini adalah sebagai lanjutan dari misi besar Hadhramaut, khususnya Tarim, sebagai pusat pengembangan metodologi pendidikan keislaman di Yaman pada saat ini, yang telah dilakukan secara intensif dengan biaya yang besar oleh para ulama Hadhramaut. Misi yang sangat efektif, karena dibawa oleh para ujung tombak, yang bukan hanya cerdas, tapi juga kaya akan ilmu pengetahuan. Salah satu ujung tombak misi itu yang sangat intens terjun di Indonesia adalah Al-Allamah Habib Umar Bin Hafidz.
Alim muda ini, bila semakin didekati dan dikenali, menurut Abuya, akan semakin diketahui bahwa ia tidak tumbuh dengan instan, melainkan melalui proses panjang, dengan melewati berbagai masa. Pertemuan-pertemuannya dengan para ulama dan orientasinya dengan dunia yang luas semakin hari semakin memadatkan ilmunya.
Pertemuan Abuya Saifuddin dengan Habib Umar bin Hafidz bisa dikatakan cukup panjang, berawal dari suatu pertemuan pada salah satu majelis ilmu yang diselenggarakan di Masjid Al-Ittihad, Tebet, Jakarta, sekitar enam tahun yang lalu.
Kala itu, Abuya diminta oleh para muhibbin dan para pecinta ilmu untuk menjadi mediator yang dapat menjembatani dan menyampaikan pertanyaan-pertanyaan mereka kepada Habib Umar. Karena, meski pada beberapa kajian Habib Umar sudah menuliskannya dalam berbagai risalah, untuk masalah-masalah tertentu harus kembali ditanyakan secara sepesifik dengan diskusi yang lebih mendalam.
Jawaban-jawaban yang diberikan oleh Habib Umar terhadap beberapa pertanyaan yang banyak menimbulkan pro-kontra dan komentar di kalangan umat Islam, khususnya para ulama, menunjukkan bahwa tokoh dai dan pemikir muda ini adalah sosok yang bukan hanya ikhlas, akan tetapi juga luas dan mendalam wawasan keilmuan dan pengetahuannya.
Pandangan terhadap Syi’ah
Di antara pertanyaan penting yang diajukan kepada Habib Umar dalam beberapa pertemuannya dengan Abuya Saifuddin adalah tentang Syi’ah dan Ibnu Taimiyah. Dua pertanyaan universal dalam dunia Islam yang telah menjadi perbincangan dan pro-kontra yang panjang di kalangan umat Islam.
Mengenai Syi’ah, jawaban Habib Umar termasuk jawaban yang tidak umum sebagaimana jawaban kebanyakan ulama kita. Ia menjawab dengan satu ungkapan yang begitu taktis. Ungkapan yang sangat meredam suasana kontradiktif antara Sunni dan Syi’ah. Ia berkata, “
Innama haula’ lahmatun minna (Sesungguhnya mereka adalah bagian
lahmah dari kita).”
Lahmah di sini mengandung dua makna yang sama-sama dapat digunakan, yakni “daging”, yang berarti sedarah-sedaging, atau “rajutan yang sama atau tenunan", yakni satu kesatuan yang sebenarnya tidak terpisah. Kedua makna tersebut dapat dipakai dalam makna ini, yakni bahwa Sunni dan Syi’ah bukan sesuatu yang terpisah sebenarnya.
Namun, dalam kenyataannya ada hal-hal yang sengaja diembus-embuskan, ada isu-isu yang sengaja dikobarkan untuk memudarkan persatuan di kalangan umat Islam. Golongan yang mengembus-embuskan atau mengobarkan isu ini tidak menginginkan adanya persatuan di kalangan umat Islam. "Dengan ungkapan ini Habib Umar meredam perpecahan itu," Abuya Saifuddin menegaskan.
Kemudian pada saat dibantah dengan pernyataan bahwa Habib Utsman bin Abdullah Bin Yahya, yang dikenal dengan sebutan “Habib Utsman Mufti Betawi”, dengan sangat jelas menghujat Syi’ah, bahkan begitu keras dan secara nyata menyelipkan kalimat-kalimat yang tajam tentang Syi’ah sehingga seoalah-olah Syi’ah berada di luar Islam, Habib Umar menjawab, “Habib Utsman adalah seorang ulama yang sangat alim. Akan tetapi jawaban beliau adalah jawaban yang telah berlalu masanya.”
Maksud jawaban Habib Umar adalah bahwa apa yang dilihat oleh ulama di zaman sekarang, melalui penelitian-penelitian yang seksama, dapat menyimpulkan bahwa kontradiksi-kontradiksi yag terjadi antara kedua kubu (Sunni dan Syiah) itu sangatlah benar sangatlah semarak, seperti semaraknya argumentasi-argumentasi Syi’ah dalam mengecam kesalahan-kesalahan Sunni dan sebaliknya, yakni seperti semaraknya argumentasi-argumentasi Sunni dalam mengecam kesalahan-kesalahan Syi’ah. Akan tetapi urgensi dari kesalahan-kesalahan itu telah berada di tempatnya masing-masing setelah setiap kubu mengemukakan dalil-dalilnya masing-masing secara logis.
Namun, era kita sudah berganti saat ini. Artinya, bukan kesalahan-kesalahan itu lagi yang seharusnya menjadi titik perhatian kita saat ini, melainkan terhadap bagaimana seharusnya kita bersatu padu melangkah bersama dalam keragaman dan perbedaan-perbedaan yang ada itu, demi kebaikan umat Islam secara luas.
Jawaban semacam ini hampir sama dengan jawaban yang pernah diungkapkan oleh salah seorang ketua Dewan Gereja Indonesia, tahun 1990-an, Prof. Dr. Walter Bonar Sijabat, dalam salah satu diskusi di Sekolah Tinggi Teologia Jakarta. Ia berkata, “Sekarang ini, Islam adalah satu agama yang sudah semestinya didekati secara keagamaan. Sebab, yang berhadapan sekarang ini bukan lagi antara Yahudi dengan Nasrani, atau Nasrani dengan Islam, karena musuh yang sebenarnya adalah orang-orang yang tidak beragama.”
"Jadi, pandangan beliau tentang Syi’ah itu sungguh di luar dugaan saya. Pandangan beliau adalah pandangan-pandangan yang mengikis keadaan terburuk yang selalu dimuncul-munculkan dari kedua belah pihak," kata Abuya.
Pandangan tentang Ibnu Taimiyah
Jawaban yang cerdas dan berbobot juga dirasakan oleh Abuya pada saat Habib Umar diminta untuk menomentari ungkapan seorang ulama besar, Mufti Johor, Habib Alwi bin Thahir Al-Haddad, Mufti Johor, dalam kitabnya
Fashl al-Khithab. Habib Umar berkata, "Sesungguhnya Ibnu Taimiyah mengambil cahaya ilmunya dari Imam Al-Ghazali, akan tetapi ia tidak menisbahkan kepada Imam Al-Ghazali selain pada apa yang ia tentang dari Imam Al-Ghazali."
Artinya, Ibnu Taimiyah menisbahkan pandangan-pandangan Al-Ghazali kepada Al-Ghazali hanya pada hal-hal yang dinilainya salah. Padahal apa yang ia tulis dan ia sampaikan berkaitan dengan masalah-masalah keilmuan, semuanya merujuk kepada bangunan besar pemikiran Imam Al-Ghazali, namun ia tidak secara insaf dan jujur mengakui dan menyebutkan bahwa itu berasal dari Al-Ghazali.
Pada masalah inilah para ulama mengecam Ibnu Taimiyah. Karena ketika ia memanfaatkan berbagai kekayaan ilmiyah yang dianggap benar, ia tidak menyebutkan bahwa itu berasal dari Imam Al-Ghazali. Namun, ketika menemukan pandangan-pandangan Al-Ghazali yang dia anggap salah, barulah ia mengecam Al-Ghazali dan menyebutkan bahwa itulah kesalahan-kesalahan Al-Ghazali.
"Dan ini saya rasakan sekali ketika mengkaji kitab-kitab karya Al-Ghazali, semisal
Iljam Al-`Awam `an `Ilm al-Kalam. Begitu terasa kalimat-kalimat Imam Al-Ghazali yang hadir dalam tulisan-tulisan Ibnu Taimiyah," kata Abuya.
Ketika pernyataan ini disampaikan kepada Habib Umar Bin Hafidz, semakin tampak keluasan ilmunya. Ia berkata, "Ibnu Taimiyah diakui sebagai seorang yang alim, akan tetapi ia banyak melahirkan
syudzudz (pendapat-pendapat yang menyimpang dari pendapat umum mayoritas ulama). Sehingga, meskipun ia diikuti, tetap fatwa-fatwanya adalah pendapat-pendapat yang
syadz di tengah-tengah ulama."
Itulah sebabnya, pendapat-pendapatnya banyak ditentang oleh para ulama, bahkan beberapa kali ia dijebloskan ke dalam penjara.
Keberanian bersikap yang ditunjukkan oleh Ibnu Taimiyah dengan pendapat-pendapatnya yang menyimpang dari mayoritas ulama, bahkan dalam madzhabnya sendiri, yakni Madzhab Imam Ahmad bin Hanbal, telah melahirkan kemestian berupa reaksi para ulama yang juga beramai-ramai menentangnya.
Tapi, Ibnu Taimiyah harus tetap dipandang sebagai seorang tokoh besar dalam kapasitasnya sebagai seorang ulama yang pernah meramaikan cakrawala keilmuan umat Islam. Sikapnya yang banyak bertentangan haluan dengan pandangan mayoritas ulama harus dilihat sebagai satu kekayaan yang menjadi pengasah daya kritis dalam bangunan keilmuan dan pemikiran Islam. Adapun mengenai konsekuensi yang harus diterimanya pada saat itu, termasuk dijebloskan ke dalam penjara, itu selayaknya dinilai sebagai satu kemestian yang harus diterimanya dari sebab kekukuhan sikapnya untuk berbeda.
Dengan pandangan semacam ini, Habib Umar pada dasarnya ingin memberikan pemahaman kepada kaum muslimin saat ini bahwa tidaklah semestinya setiap perbedaan yang melahirkan pertentangan pada satu masa tertentu, dijadikan sebagai isu sentral dan pusat perhatian kaum muslimin pada setiap masa dan sepanjang zaman. Karena urgensi pertentangan-pertentangan itu sudah berada pada tempat dan masanya masing-masing.
Dari setiap jawaban mendalam yang diberikan Habib Umar Bin Hafidz pada setiap pertemuan dan halaqah-halaqah ilmiyah itu, Abuya Saifuddin semakin terkesan dengan sosok dai dan pemikir muda ini. Karena jawaban-jawaban yang berbeda dengan kebanyakan ulama pada umumnya terhadap permasalahan-permasalahan yang kontriversial itu, yang disampaikannya di hadapan para ulama dan penerimaan mereka terhadap jawaban-jawab itu, menunjukkan keluasan dan kedalaman ilmu Habib Umar Bin Hafidz.
"Kesimpulannya, Tarim boleh berbangga hati dengan bermunculannya banyak tokoh muda yang banyak melanglang buana untuk berdakwah dengan disertai oleh basics keilmuan yang memadai. Di samping itu Tarim memiliki tenaga-tenaga muda, yang bukan hanya berasal dari Tarim, tetapi juga dari Indonesia dan belahan bumi lainnya. Ini menunjukkan bahwa Tarim telah berhasil dalam misi dakwahnya, karena saya tidak melihat satu penyebaran misi yang luar biasa dan diterima di mana-mana di masa sekarang ini seperti yang telah dilakukan oleh Tarim ini," kata Abuya.
Wajah Ulama dan Keshalihan
Dengan modal itu, dengan berlalunya waktu, kedekatan semakin tercipta antara Habib Umar bin Hafidz dengan ulama-ulama Indonesia, khususnya Abuya Saifuddin Amsir. Abuya menilai, pandangan-pandangan Habib Umar dapat memberikan banyak pencerahan, terutama bagi kalangan terpelajar.
Dengan latar belakang inilah kemudian Abuya mendapat kehormatan untuk mewakili ulama Indonesia mengikuti Konferensi Ulama se-Dunia di Tarim, yang digagas oleh tokoh-tokoh ulama Tarim, yang di antaranya adalah Habib Abu Bakar Al-Masyhur Al-Adni dan Habib Umar Bin Hafidz sendiri.
Adapun konferensi yang digagas tidak lain dimaksudkan dalam rangka mengenalkan kepada dunia terhadap Metode Tarimiah sebagai proyek percontohan dalam metodologi pendidikan keislaman. Hal ini memiliki beberapa alasan penting, antara lain, terlepas dari kondisi fisik Tarim yang masih terlihat klasik, sesungguhnya kondisi faktual yang mereka punyai dalam kelurusan aqidah tidak ditemukan di tempat lain. Di Tarim tidak dikenal pencurian, percekcokan, dan sebagainya. Di sana benar-benar terpancar wajah keualamaan dan wajah keshalihan, di samping reputasi keilmuannya pun tidak ketinggalan. Bahkan ada beberapa ilmu tertentu yang boleh disebut, selain mengakar, juga pakar-pakarnya yang berada di negeri ini masih begitu kelihatan.
"Dan pada masa keemasannya belakangan ini, Darul Mushthafa itulah (lembaga pendidikan yang Habib Umar pimpin – Red.) yang memiliki wawasan pengajaran dan skup yang melebar. Karena di wilayah ini, tokoh-tokoh yang berada pada level akademisi pun justru menjadi basics yang mengantarkan Habib Umar Bin Hafizh ke seluruh penjuru dunia," kata Abuya.
Konferensi ini menunjukkan keterbukaan Tarim untuk berdialog dengan dunia luar. Dalam konferensi ini, para peserta diajak untuk memberikan tanggapan dan berdialog tentang keluasan khazanah metode pendidikan keislaman yang ada di Tarim. Mereka diperlihatkan satu model pendidikan akademisi ala Tarim dengan Al-Ahgaff sebagai pusatnya, dan juga model pendidikan klasik, yang berpusat di Darul Mushthafa. Kedua model pendidikan ini berjalan dengan sangat selaras.
Dari dua model pendidikan ini, Tarim bermaksud menunjukkan adanya pusat-pusat akademik dan pusat-pusat penyebaran dakwah yang berjalan selaras. Kedua pusat inilah yang kemudian mengemban misi mempersatukan dunia Islam dengan wiridan-wiridan para salaf mereka, seperti
Wirdul Lathif dan
Ratibul Haddad, yang menjadi senjata mereka dalam setiap medan dakwah.
Mereka tak pernah letih untuk terus bergerak dan berjuang. Mereka tidak memiliki perhatian terhadap upaya-upaya bagaimana menimbulkan gejolak politik di tengah-tengah masyarakat. Mereka terjun dan bergerak hanya pada satu orientasi, agar Islam dapat menyebar ke seluruh penujuru dunia dengan akhlaq yang luhur diutamakan, keadilan, kasih sayang, dan juga tawassuth (jalan tengah dan moderasi).
Hal inilah yang mendapat perhatian besar dari berbagai kalangan ulama dunia untuk memberikan apresiasi kepada gerakan dan misi agung ini. Tokoh-tokoh dunia yang turut memberikan apresiasi itu antara lain Syaikh Dr. Ramdhan Al-Buthi, Syiria, Syaikh Dr. Muhanna, mufti Syafi`iyyah Makkah.
Selain kedua ulama besar tersebut, di antara tokoh yang berkesempatan untuk memberikan kontribusi dalam konferensi itu adalah Habib Umar Al-Jilani dari Makkah. "Beliau adalah pakar agama yang luar biasa. Hal itu bisa dilihat dengan jelas pada saat memaparkan makalah. Makalah yang disusunnya dengan cukup tebal itu, ternyata beliau hafal di luar kepala, kata demi kata, seakan-akan beliau sedang membaca matan satu kitab," kata Abuya.
Dalam pemaparannya, Habib Umar Al-Jilani mengungkapkan kajian yang sangat ilmiyah tentang runtunan gerak pembelajaran Islam di Masjidil Haram, yang telah melahirkan ribuan ulama kaliber dunia pada masanya. Ia menjelaskan bagaiaman eratnya hubungan anatara Tarim dan Makkah dalam silsilah mata rantai ilmu-ilmu keislaman.
Hubungan erat itu ditunjukkan oleh banyaknya ulama Tarim yang mengambil ilmu dan akhirnya bermukim di Makkah atau sekadar mengambil ilmu. Demikian pula sebaliknya, tidak sedikit pula ulama Makkah yang mengambil ilmu dari ulama-ulama besar Tarim. Sebut saja misalnya Sayyid Zaini Dahlan, Sayyid Bakri Syatha, dan Sayyid Umar Syatha. Mereka adalah di antara sekian ulama besar yang menjadi rujukan penting para ulama besar Hadhramaut pada zaman itu.
Namun, yang perlu menjadi catatan penting juga bagi pembaca
alKisah, juga umat Islam pada umunya, ulama-ulama Indonesia pun, seperti K.H. Hasyim Asy`ari, pendiri Nahdlatul Ulama, Guru Marzuki Muara, guru para guru di Jakarta, mereka adalah tokoh-tokoh besar yang belajar di Makkah kala itu. Demikian Abuya mengingatkan.
Sehingga, Tarim, Makkah, dan Indonesia sudah memiliki hubungan yang erat dalam silsilah ilmu-ilmu keislaman sejak dahulu, demikian pula tradisi dan manhaj dakwahnya.
Tantangan utamanya adalah bagaimana agar para ulama, baik habaib maupun non-habaib, mau bersinergi, bersatu padu, dan bahu-membahu demi kepentingan umat, dan menghilangkan sejauh-jauhnya ego pribadi dan kelompok, yang pada akhirnya hanya akan mendatangkan kerugian yang besar bagi Islam dan kaum muslimin.