Senin, 04 Juli 2011

Habib Husein Allatas: Berpulangnya Sang Pengayom Umat

Selamat jalan, orangtua kami tercinta. Selamat jalan, guru kami tersayang. Selamat jalan, pengayom umat yang penuh cinta.


Jum`at sore (27/05), kaum muslimin, di Jakarta khususnya, diuji dengan satu musibah yang sangat besar. Canda, tawa, dan senyum riang pun tiba-tiba berubah menjadi cucuran deras air mata. Sore itu, berita berpulangnya ulama besar sekaligus pengayom umat sontak mengejutkan kaum muslimin, terlebih lagi mereka yang telah lama merasakan indahnya kebersamaan dengan sang penyayang dhu`afa ini.

Selepas ashar, figur yang alim, tegas dalam sikap, terdepan dalam mengayomi kaum lemah, penyayang umat, dan pemilik kharisma yang langka ini menutup mata, menghadap Tuhannya.
Ya, sang Habib Jenderal itu telah berpulang ke haribaan Allah, menghadap Rabb-nya dan meninggalkan kita semua untuk selama-lamanya. Beliau adalah Habib Husein Allatas Gang Buluh, putra sekaligus khalifah Habib Ali bin Husein Allatas, yang dikenal dengan sebutan “Habib Ali Bungur”. Habib Husein wafat di RS Asri, Duren Tiga, Jakarta Selatan.

Pada saat jenazahnya akan tiba di rumah duka, yang terletak di Jln. Buluh No. 45 Condet, masyarakat sekitar, baik yang tua maupun muda, laki-laki dan juga perempuan, keluar rumah untuk menyambut. Kehadiran jenazah disambut dengan deraian air mata, bukti kehilangan yang teramat dalam terhadap panutan yang selama ini mencurahkan hidupnya membimbing dan menyayangi mereka.

Satu demi satu, jama’ah berdatangan dari berbagai penjuru Jakarta, memadati ruang majelis Al-Khairat, asuhan Habib Husein Allatas. Demikian pula para tokoh, baik ulama maupun umara, silih berganti mendatangi kediaman almarhum untuk memberikan penghormatan terakhir dan berbela sungkawa kepada keluarga yang ditinggalkan.

Ya-Sin, dzikir, dan tahlil, tak henti-hentinya terus diuntaikan bagi almarhum dari muhibbin, yang semakin memadati ruangan majelis hingga ke jalanan. Sepanjang malam pun, para jama’ah dan muhibbin tak putus-putusnya mengucapkan kalimat-kalimat dzikir dan tahlil, disertai dengan pembacaan ayat-ayat suci Al-Qur'an, yang terutama dilantunkan oleh santri-santri muda.

Keesokan harinya, Sabtu (28/05), para jama’ah yang datang berta`ziyah semakin membludak. Sejak pagi sekali mereka telah ramai berdatangan ke rumah duka sembari menanti saat-saat pemakaman yang akan dilaksanakan pada siang harinya, selepas zhuhur.

Kiriman bunga dari sejumlah tokoh penting pun mulai berdatangan, menunjukkan betapa beliau sangat dicintai oleh semua kalangan.

Pukul 11.00 WIB, setelah usai dimandikan dan dikafani, jenazah Habib Husein dishalatkan terlebih dahulu sebelum dibawa ke Masjid Al-Hawi untuk juga dishalatkan di sana. Ini dimaksudkan agar semua jama’ah yang terus berdatangan dalam jumlah yang sangat besar itu nantinya memiliki kesempatan untuk menshalati Habib Husein.

Shalat Jenazah di rumah duka dilakukan dalam dua tahap, karena tempat yang ada tidak bisa menampung jumlah jama’ah yang hadir saat itu. Untuk tahap pertama, Habib Ali bin Abdurrahman Assegaf ditunjuk sebagai imam, K.H. Abdurrasyid A.S., pemimpin Perguruan Islam Asy-Syafi`iyyah Jakarta, sebagai pemberi kata pelepasan, dan doanya diserahkan kepada K.H. Abdurrahman Nawi, pengasuh PP Al-Awwabin Depok.
 
Usai dishalatkan di rumah duka, jenazah dibawa menuju Masjid Al-Hawi, Condet, untuk kembali dishalatkan oleh ribuan jama’ah yang sudah menunggu. Al-Allamah Habib Zein Bin Smith Madinah, yang tengah burkunjung ke Indonesia, didaulat untuk menjadi imam sekaligus memberikan kata pelepasannya.

Dalam kesempatan itu, Habib Zein Bin Smith mengungkapkan, kaum muslimin telah kehilangan satu tokoh besar yang perilaku dan akhlaqnya mencerminkan kepribadian salafus shalih, teladan yang sulit dicari penggantinya di zaman sekarang ini.

Di luar masjid, di sepanjang jalan dari rumah duka, puluhan ribu muhibbin semakin berjubel untuk menunggu jenazah selesai dishalatkan. Suasana duka dan haru semakin terasa ketika keranda, yang di dalamnya terdapat jenazah Habib Husein, diusung keluar masjid untuk dibawa ke peristirahatan terakhir di Kompleks Pemakaman Habib Salim bin Thoha Al-Haddad Kalibata.

Takbir dan tahlil, yang diiringi cucuran air mata dan isak tangis muhibbin, menggema silih berganti mengiringi jenazah menuju pemakaman, dengan konvoi panjang kendaraan roda dua dan empat.

Sebelum sampai di pemakaman, karena banyaknya jama’ah dan tokoh yang belum menshalati al-marhum, akhirnya jenazah kembali dishalatkan di Masjid Ash-Sholihin Kalibata untuk kali keempat.

Sementara itu, di area pemakaman, ribuan jama’ah sudah siap pula menyambut kedatangan jenazah Habib Husein.

Sebelum dimakamkan, jenazah kembali dishalatkan atas permintaan tokoh-tokoh Rabithah Alawiyyah Indonesia, yang tengah bermuktamar. Untuk kesekian kalinya dan untuk yang terakhir kalinya jenazah Habib Husein dishalatkan. 
Setelah itu, barulah jenazah disemayamkan di tempat peristirahatan terakhirnya di kubah pemakaman keluarga Habib Salim bin Thoha Al-Haddad. 

Habib Husein, sang Jenderal Habaib, wafat dalam usia 71 tahun. Beliau meninggalkan tiga orang putri. Sebenarnya Habib Husein memiliki empat orang putri, namun salah satu putrinya telah mendahului berpulang ke rahmatullah.

Habib Husein telah pergi untuk selamanya, meninggalkan teladan bagi umat dan kemanusiaan. Namanya akan harum sepanjang masa. Kita yang ditinggalkan diliputi duka yang tiada terhingga. Kini kiprah Habib Husein akan diteruskan oleh khalifah sekaligus menantunya, Habib Mahdi bin Abdurrahman bin Syekh Allatas.

Selamat jalan, orangtua kami tercinta. Selamat jalan, guru kami tersayang. Selamat jalan, pengayom umat yang penuh cinta. Semoga Allah menempatkan Habib Husein di tempat yang paling layak sebagaimana jasa-jasa dan kasih sayangnya terhadap umat Rasulullah SAW selama hidupnya. Amin....

Rasulullah SAW Rahmatan lil ‘Alamin: Memanusiakan Manusia...

Mengapa Rasulullah SAW menjadi orang yang paling berhasil dalam dakwahnya? Tak lain karena beliau adalah manusia yang paling memanusiakan manusia. Itulah sebabnya, bila ingin sukses dalam dakwah, ikuti dan teladanilah Nabi SAW.


Jum`at (15/4) umat Islam kembali diuji dengan satu berita duka yang dialami oleh saudara-saudara kita di Cirebon. Sebuah bom bunuh diri diledakkan di Masjid Mapolres Cirebon di tengah-tengah jama’ah yang tengah khusyu’ mengikuti shalat Jum`at. Dua puluh enam jama’ah yang tak berdosa terluka. Pelaku bom bunuh diri tewas.Islam, yang lembut dan penuh cinta kasih, seolah berubah menjadi serpihan-serpihan bom, yang mencabik-cabik tubuh manusia yang tak berdosa.

Bila manusia yang mengaku beragama paling tinggi dan paling agung tidak lagi menganggap mulia manusia sehingga tidak lagi memuliakan manusia, buat siapa sebenarnya agama yang paling agung ini? Bukankah agama ini diturunkan untuk manusia?

Begitu banyak kisah kemanusiaan yang telah diteladankan Nabi SAW kepada kita. Tidak hanya kepada manusia, kepada makhluk lain pun beliau bersikap penuh kasih sayang. Termasuk kepada binatang. Salah satunya terlihat dari kisah berikut. Dari Abdullah bin Ja'far RA, ia mengatakan, “Rasulullah SAW memasuki kebun milik seorang dari kaum Anshar dan ternyata ada seekor unta.

Begitu melihat Rasulullah SAW, unta itu merintih dan bercucuran air mata.

Rasulullah SAW segera menghampirinya dan mengusap kedua pangkal telinganya, lantas unta itu diam.
Beliau bertanya, "Siapa pemilik unta ini? Siapa pemilik unta ini?"

Seorang pemuda Anshar datang dan berkata, “Milikku, wahai Rasulullah.”

Beliau bersabda, "Tidakkah engkau takut kepada Allah terkait binatang yang dijadikan oleh Allah sebagai milikmu?! Sesungguhnya ia mengadu kepadaku bahwa engkau membiarkannya kelaparan dan engkau berlaku kasar terhadapnya."

Bila hewan saja, yang tidak diberikan hati dan akal pikiran, begitu dihormati dan dikasihi oleh Nabi SAW, lalu bagaimana dengan manusia, yang dipilih oleh Allah SWT sebagai makhluk paling mulia di sisi-Nya?

Krisis Ittiba'
Ketika Allah menegaskan bahwa Rasulullah SAW tidaklah diutus melainkan sebagai rahmat bagi alam semesta, rahmatan lil ‘alamin, artinya, bila kita ingin keberagamaan kita, yakni Islam, sesuai dengan apa yang dimaksudkan dan dikehendaki oleh Allah SWT, tidak bisa tidak kecuali mengikuti dan meneladani Nabi SAW dalam segala aspek kehidupannya. Bukan hanya yang berkaitan dengan ubudiah kepada Allah, tetapi juga muamalah dengan sesama manusia dan semua makhluk Allah SWT yang lain.

Jika hal ini tidak dilakukan, Islam hanya akan dijadikan ajaran yang dipahami sekehendak hawa nafsu. Sehingga, bahkan Al-Qur’an pun dijadikan alasan untuk membunuh manusia yang tidak berdosa.

Bila akhir-akhir ini semakain ramai gerakan takfir dan tabdi` (mengkafirkan dan membid`ahkan) terhadap golongan yang dianggap tidak sepaham dengan kelompoknya, yang kemudian, di antaranya, melahirkan gerakan terorisme atas nama jihad dan agama dan gerakan anti Maulid, anti tahlil, dan anti ziarah serta mengkafirkan para pelakunya, serta gerakan-gerakan penyimpangan lainnya, hal itu tidak lain disebabkan karena di tubuh umat ini sedang terjadi krisis yang teramat mengkhawatirkan, yakni krisis ittiba' kepada para ulama, yang berarti krisis ittiba’ kepada Nabi SAW, yang pada hakikatnya adalah krisis berpegang teguh kepada Al-Kitab dan sunnah Nabawiyah.

Maka solusinya adalah berpegang teguh kepada Al-Kitab dan sunnah dengan ber-ittiba’ kepada para ulama ‘amilin dan awliya’ shalihin, “…Maka bertanyalah kepada ahlu dzikri (orang yang mempunyai pengetahuan) jika kalian tidak mengetahui.” – QS An-Nahl (16): 43.

Wallahu a`lam bishshawab.

Rihlah Abuya K.H. Saifuddin Amsir ke Tarim: Mengislamkan Dunia dengan Akhlaq

Mereka tidak memiliki perhatian terhadap upaya-upaya bagaimana menimbulkan gejolak politik di tengah-tengah masyarakat. Mereka terjun dan bergerak hanya pada satu orientasi, agar Islam dapat menyebar ke seluruh penujuru dunia, dengan akhlaq yang luhur diutamakan, keadilan, kasih sayang, dan juga tawassuth.

Pada edisi 01/2011, alKisah telah menurunkan rihlah ilmiyah Abuya K.H. Saifuddin Amsir ke kota Tarim dalam rangka mengikuti Konferensi Ulama Islam se-Dunia, yang berlangsung tanggal 21 hingga 24 Desember 2010. Pada edisi kali ini, alKisah kembali memuat tulisan tentang sisi-sisi penting keikutsertaan Abuya Saifuddin, sebagai perwakilan ulama Indonesia, dalam konferensi tersebut.

Pada Rabu (25/5), alKisah kembali mewawancarai Abuya Saifuddin untuk menceritakan kembali sisi-sisi penting yang perlu  diketahui oleh dunia Islam seputar konferensi dunia yang digagas oleh tokoh-tokoh ulama Tarim-Hadhramaut itu. Apa saja urgensi yang dihasilkan dari konferensi dan kontribusi besar yang diberikannya bagi dunia Islam, dan Indonesia pada khususnya.   

Latar belakang keikutsertaan Abuya Saifuddin pada rihlah ilmiyah ini adalah sebagai lanjutan dari  misi besar Hadhramaut, khususnya Tarim, sebagai pusat pengembangan metodologi pendidikan keislaman di Yaman pada saat ini, yang telah dilakukan secara intensif dengan biaya yang besar oleh para ulama Hadhramaut. Misi yang sangat efektif, karena dibawa oleh para ujung tombak, yang bukan hanya cerdas, tapi juga kaya akan ilmu pengetahuan. Salah satu ujung tombak misi itu yang sangat intens terjun di Indonesia adalah Al-Allamah Habib Umar Bin Hafidz.

Alim muda ini, bila semakin didekati dan dikenali, menurut Abuya, akan semakin diketahui bahwa ia tidak tumbuh dengan instan, melainkan melalui proses panjang, dengan melewati berbagai masa. Pertemuan-pertemuannya dengan para ulama dan orientasinya dengan dunia yang luas semakin hari semakin memadatkan ilmunya. 

Pertemuan Abuya Saifuddin dengan Habib Umar bin Hafidz bisa dikatakan cukup panjang, berawal dari suatu pertemuan pada salah satu majelis ilmu yang diselenggarakan di Masjid Al-Ittihad, Tebet, Jakarta, sekitar enam tahun yang lalu.

Kala itu, Abuya diminta oleh para muhibbin dan para pecinta ilmu untuk menjadi mediator yang dapat menjembatani dan menyampaikan pertanyaan-pertanyaan mereka kepada Habib Umar. Karena, meski pada beberapa kajian Habib Umar sudah menuliskannya dalam berbagai risalah, untuk masalah-masalah tertentu harus kembali ditanyakan secara sepesifik dengan diskusi yang lebih mendalam.

Jawaban-jawaban yang diberikan oleh Habib Umar terhadap beberapa pertanyaan yang banyak menimbulkan pro-kontra dan komentar di kalangan umat Islam, khususnya para ulama, menunjukkan bahwa tokoh dai dan pemikir muda ini adalah sosok yang bukan hanya ikhlas, akan tetapi juga luas dan mendalam wawasan keilmuan dan pengetahuannya.

Pandangan terhadap Syi’ah
Di antara pertanyaan penting yang diajukan kepada Habib Umar dalam beberapa pertemuannya dengan Abuya Saifuddin adalah tentang Syi’ah dan Ibnu Taimiyah. Dua pertanyaan universal dalam dunia Islam yang telah menjadi perbincangan dan pro-kontra yang panjang di kalangan umat Islam.

Mengenai Syi’ah, jawaban Habib Umar termasuk jawaban yang tidak umum sebagaimana jawaban kebanyakan ulama kita. Ia menjawab dengan satu ungkapan yang begitu taktis. Ungkapan yang sangat meredam suasana kontradiktif antara Sunni dan Syi’ah. Ia berkata, “Innama haula’ lahmatun minna (Sesungguhnya mereka adalah bagian lahmah dari kita).”

Lahmah di sini mengandung dua makna yang sama-sama dapat digunakan, yakni “daging”, yang berarti sedarah-sedaging, atau “rajutan yang sama atau tenunan", yakni satu kesatuan yang sebenarnya tidak terpisah. Kedua makna tersebut dapat dipakai dalam makna ini, yakni bahwa Sunni dan Syi’ah bukan sesuatu yang terpisah sebenarnya.

Namun, dalam kenyataannya ada hal-hal yang sengaja diembus-embuskan, ada isu-isu yang sengaja dikobarkan untuk memudarkan persatuan di kalangan umat Islam. Golongan yang mengembus-embuskan atau mengobarkan isu ini tidak menginginkan adanya persatuan di kalangan umat Islam. "Dengan ungkapan ini Habib Umar meredam perpecahan itu," Abuya Saifuddin menegaskan.

Kemudian pada saat dibantah dengan pernyataan bahwa Habib Utsman bin Abdullah Bin Yahya, yang dikenal dengan sebutan “Habib Utsman Mufti Betawi”, dengan sangat jelas menghujat Syi’ah, bahkan begitu keras dan secara nyata menyelipkan kalimat-kalimat yang tajam tentang Syi’ah sehingga seoalah-olah Syi’ah berada di luar Islam, Habib Umar menjawab, “Habib Utsman adalah seorang ulama yang sangat alim. Akan tetapi jawaban beliau adalah jawaban yang telah berlalu masanya.”

Maksud jawaban Habib Umar adalah bahwa apa yang dilihat oleh ulama di zaman sekarang, melalui penelitian-penelitian yang seksama, dapat menyimpulkan bahwa kontradiksi-kontradiksi yag terjadi antara kedua kubu (Sunni dan Syiah) itu sangatlah benar sangatlah semarak, seperti semaraknya argumentasi-argumentasi Syi’ah dalam mengecam kesalahan-kesalahan Sunni dan sebaliknya, yakni seperti semaraknya argumentasi-argumentasi Sunni dalam mengecam kesalahan-kesalahan Syi’ah. Akan tetapi urgensi dari kesalahan-kesalahan itu telah berada di tempatnya masing-masing setelah setiap kubu mengemukakan dalil-dalilnya masing-masing secara logis.

Namun, era kita sudah berganti saat ini. Artinya, bukan kesalahan-kesalahan itu lagi yang seharusnya menjadi titik perhatian kita saat ini, melainkan terhadap bagaimana seharusnya kita bersatu padu melangkah bersama dalam keragaman dan perbedaan-perbedaan yang ada itu, demi kebaikan umat Islam secara luas.

Jawaban semacam ini hampir sama dengan jawaban yang pernah diungkapkan oleh salah seorang ketua Dewan Gereja Indonesia, tahun 1990-an, Prof. Dr. Walter Bonar Sijabat, dalam salah satu diskusi di Sekolah Tinggi Teologia Jakarta. Ia berkata, “Sekarang ini, Islam adalah satu agama yang sudah semestinya didekati secara keagamaan. Sebab, yang berhadapan sekarang ini bukan lagi antara Yahudi dengan Nasrani, atau Nasrani dengan Islam, karena musuh yang sebenarnya adalah orang-orang yang tidak beragama.”

"Jadi, pandangan beliau tentang Syi’ah itu sungguh di luar dugaan saya. Pandangan beliau adalah pandangan-pandangan yang mengikis keadaan terburuk yang selalu dimuncul-munculkan dari kedua belah pihak," kata Abuya.

Pandangan tentang Ibnu Taimiyah
Jawaban yang cerdas dan berbobot juga dirasakan oleh Abuya pada saat Habib Umar diminta untuk menomentari ungkapan seorang ulama besar, Mufti Johor, Habib Alwi bin Thahir Al-Haddad, Mufti Johor, dalam kitabnya Fashl al-Khithab. Habib Umar berkata, "Sesungguhnya Ibnu Taimiyah mengambil cahaya ilmunya dari Imam Al-Ghazali, akan tetapi ia tidak menisbahkan kepada Imam Al-Ghazali selain pada apa yang ia tentang dari Imam Al-Ghazali."

Artinya, Ibnu Taimiyah menisbahkan pandangan-pandangan Al-Ghazali kepada Al-Ghazali hanya pada hal-hal yang dinilainya salah. Padahal apa yang ia tulis dan ia sampaikan berkaitan dengan masalah-masalah keilmuan, semuanya merujuk kepada bangunan besar pemikiran Imam Al-Ghazali, namun ia tidak secara insaf dan jujur mengakui dan menyebutkan bahwa itu berasal dari Al-Ghazali.

Pada masalah inilah para ulama mengecam Ibnu Taimiyah. Karena ketika ia memanfaatkan berbagai kekayaan ilmiyah yang dianggap benar, ia tidak menyebutkan bahwa itu berasal dari Imam Al-Ghazali. Namun, ketika menemukan pandangan-pandangan Al-Ghazali yang dia anggap salah, barulah ia mengecam Al-Ghazali dan menyebutkan bahwa itulah kesalahan-kesalahan Al-Ghazali.

"Dan ini saya rasakan sekali ketika mengkaji kitab-kitab karya Al-Ghazali, semisal Iljam Al-`Awam `an `Ilm al-Kalam. Begitu terasa kalimat-kalimat Imam Al-Ghazali yang hadir dalam tulisan-tulisan Ibnu Taimiyah," kata Abuya.

Ketika pernyataan ini disampaikan kepada Habib Umar Bin Hafidz, semakin tampak keluasan ilmunya. Ia berkata, "Ibnu Taimiyah diakui sebagai seorang yang alim, akan tetapi ia banyak melahirkan syudzudz (pendapat-pendapat yang menyimpang dari pendapat umum mayoritas ulama). Sehingga, meskipun ia diikuti, tetap fatwa-fatwanya adalah pendapat-pendapat yang syadz di tengah-tengah ulama."

Itulah sebabnya, pendapat-pendapatnya banyak ditentang oleh para ulama, bahkan beberapa kali ia dijebloskan ke dalam penjara.

Keberanian bersikap yang ditunjukkan oleh Ibnu Taimiyah dengan pendapat-pendapatnya yang menyimpang dari mayoritas ulama, bahkan dalam madzhabnya sendiri, yakni Madzhab Imam Ahmad bin Hanbal, telah melahirkan kemestian berupa reaksi para ulama yang juga beramai-ramai menentangnya.

Tapi, Ibnu Taimiyah harus tetap dipandang sebagai seorang tokoh besar dalam kapasitasnya sebagai seorang ulama yang pernah meramaikan cakrawala keilmuan umat Islam. Sikapnya yang banyak bertentangan haluan dengan pandangan mayoritas ulama harus dilihat sebagai satu kekayaan yang menjadi pengasah daya kritis dalam bangunan keilmuan dan pemikiran Islam. Adapun mengenai konsekuensi yang harus diterimanya pada saat itu, termasuk dijebloskan ke dalam penjara, itu selayaknya dinilai sebagai satu kemestian yang harus diterimanya dari sebab kekukuhan sikapnya untuk berbeda.

Dengan pandangan semacam ini, Habib Umar pada dasarnya ingin memberikan pemahaman kepada kaum muslimin saat ini bahwa tidaklah semestinya setiap perbedaan yang melahirkan pertentangan pada satu masa tertentu, dijadikan sebagai isu sentral dan pusat perhatian kaum muslimin pada setiap masa dan sepanjang zaman. Karena urgensi pertentangan-pertentangan itu sudah berada pada tempat dan masanya masing-masing.

Dari setiap jawaban mendalam yang diberikan Habib Umar Bin Hafidz pada setiap pertemuan dan halaqah-halaqah ilmiyah itu, Abuya Saifuddin semakin terkesan dengan sosok dai dan pemikir muda ini. Karena jawaban-jawaban yang berbeda dengan kebanyakan ulama pada umumnya terhadap permasalahan-permasalahan yang kontriversial itu, yang disampaikannya di hadapan para ulama dan penerimaan mereka terhadap jawaban-jawab itu, menunjukkan keluasan dan kedalaman ilmu Habib Umar Bin Hafidz.

"Kesimpulannya, Tarim boleh berbangga hati dengan bermunculannya banyak tokoh muda yang banyak melanglang buana untuk berdakwah dengan disertai oleh basics keilmuan yang memadai. Di samping itu Tarim memiliki tenaga-tenaga muda, yang bukan hanya berasal dari Tarim, tetapi juga dari Indonesia dan belahan bumi lainnya. Ini menunjukkan bahwa Tarim telah berhasil dalam misi dakwahnya, karena saya tidak melihat satu penyebaran misi yang luar biasa dan diterima di mana-mana di masa sekarang ini seperti yang telah dilakukan oleh Tarim ini," kata Abuya.

Wajah Ulama dan Keshalihan
Dengan modal itu, dengan berlalunya waktu, kedekatan semakin tercipta antara Habib Umar bin Hafidz dengan ulama-ulama Indonesia, khususnya Abuya Saifuddin Amsir. Abuya menilai, pandangan-pandangan Habib Umar dapat memberikan banyak pencerahan, terutama bagi kalangan terpelajar.

Dengan latar belakang inilah kemudian Abuya mendapat kehormatan untuk mewakili ulama Indonesia mengikuti Konferensi Ulama se-Dunia di Tarim, yang digagas oleh tokoh-tokoh ulama Tarim, yang di antaranya adalah Habib Abu Bakar Al-Masyhur Al-Adni dan Habib Umar Bin Hafidz sendiri.

Adapun konferensi yang digagas tidak lain dimaksudkan dalam rangka mengenalkan kepada dunia terhadap Metode Tarimiah sebagai proyek percontohan dalam metodologi pendidikan keislaman. Hal ini memiliki beberapa alasan penting, antara lain, terlepas dari kondisi fisik Tarim yang masih terlihat klasik, sesungguhnya kondisi faktual yang mereka punyai dalam kelurusan aqidah tidak ditemukan di tempat lain. Di Tarim tidak dikenal pencurian, percekcokan, dan sebagainya. Di sana benar-benar terpancar wajah keualamaan dan wajah keshalihan, di samping reputasi keilmuannya pun tidak ketinggalan. Bahkan ada beberapa ilmu tertentu yang boleh disebut, selain mengakar, juga pakar-pakarnya yang berada di negeri ini masih begitu kelihatan.

"Dan pada masa keemasannya belakangan ini, Darul Mushthafa itulah (lembaga pendidikan yang Habib Umar pimpin – Red.) yang memiliki wawasan pengajaran dan skup yang melebar. Karena di wilayah ini, tokoh-tokoh yang berada pada level akademisi pun justru menjadi basics yang mengantarkan Habib Umar Bin Hafizh ke seluruh penjuru dunia," kata Abuya.

Konferensi ini menunjukkan keterbukaan Tarim untuk berdialog dengan dunia luar. Dalam konferensi ini, para peserta diajak untuk memberikan tanggapan dan berdialog tentang keluasan khazanah metode pendidikan keislaman yang ada di Tarim. Mereka diperlihatkan satu model pendidikan akademisi ala Tarim dengan Al-Ahgaff sebagai pusatnya, dan juga model pendidikan klasik, yang berpusat di Darul Mushthafa. Kedua model pendidikan ini berjalan dengan sangat selaras.

Dari dua model pendidikan ini, Tarim bermaksud menunjukkan adanya pusat-pusat akademik dan pusat-pusat penyebaran dakwah yang berjalan selaras. Kedua pusat inilah yang kemudian mengemban misi mempersatukan dunia Islam dengan wiridan-wiridan para salaf mereka, seperti Wirdul Lathif dan Ratibul Haddad, yang menjadi senjata mereka dalam setiap medan dakwah.

Mereka tak pernah letih untuk terus bergerak dan berjuang. Mereka tidak memiliki perhatian terhadap upaya-upaya bagaimana menimbulkan gejolak politik di tengah-tengah masyarakat. Mereka terjun dan bergerak hanya pada satu orientasi, agar Islam dapat menyebar ke seluruh penujuru dunia dengan akhlaq yang luhur diutamakan, keadilan, kasih sayang, dan juga tawassuth (jalan tengah dan moderasi).

Hal inilah yang mendapat perhatian besar dari berbagai kalangan ulama dunia untuk memberikan apresiasi kepada gerakan dan misi agung ini. Tokoh-tokoh dunia yang turut memberikan apresiasi itu antara lain Syaikh Dr. Ramdhan Al-Buthi, Syiria, Syaikh Dr. Muhanna, mufti Syafi`iyyah Makkah.

Selain kedua ulama besar tersebut, di antara tokoh yang berkesempatan untuk memberikan kontribusi dalam konferensi itu adalah Habib Umar Al-Jilani dari Makkah. "Beliau adalah pakar agama yang luar biasa. Hal itu bisa dilihat dengan jelas pada saat memaparkan makalah. Makalah yang disusunnya dengan cukup tebal itu, ternyata beliau hafal di luar kepala, kata demi kata, seakan-akan beliau sedang membaca matan satu kitab," kata Abuya.

Dalam pemaparannya, Habib Umar Al-Jilani mengungkapkan kajian yang sangat ilmiyah tentang runtunan gerak pembelajaran Islam di Masjidil Haram, yang telah melahirkan ribuan ulama kaliber dunia pada masanya. Ia menjelaskan bagaiaman eratnya hubungan anatara Tarim dan Makkah dalam silsilah mata rantai ilmu-ilmu keislaman.

Hubungan erat itu ditunjukkan oleh banyaknya ulama Tarim yang mengambil ilmu dan akhirnya bermukim di Makkah atau sekadar mengambil ilmu. Demikian pula sebaliknya, tidak sedikit pula ulama Makkah yang mengambil ilmu dari ulama-ulama besar Tarim. Sebut saja misalnya Sayyid Zaini Dahlan, Sayyid Bakri Syatha, dan Sayyid Umar Syatha. Mereka adalah di antara sekian ulama besar yang menjadi rujukan penting para ulama besar Hadhramaut pada zaman itu.

Namun, yang perlu menjadi catatan penting juga bagi pembaca alKisah, juga umat Islam pada umunya, ulama-ulama Indonesia pun, seperti K.H. Hasyim Asy`ari, pendiri Nahdlatul Ulama, Guru Marzuki Muara, guru para guru di Jakarta, mereka adalah tokoh-tokoh besar yang belajar di Makkah kala itu. Demikian Abuya mengingatkan.

Sehingga, Tarim, Makkah, dan Indonesia sudah memiliki hubungan yang erat dalam silsilah ilmu-ilmu keislaman sejak dahulu, demikian pula tradisi dan manhaj dakwahnya.

Tantangan utamanya adalah bagaimana agar para ulama, baik habaib maupun non-habaib, mau bersinergi, bersatu padu, dan bahu-membahu demi kepentingan umat, dan menghilangkan sejauh-jauhnya ego pribadi dan kelompok, yang pada akhirnya hanya akan mendatangkan kerugian yang besar bagi Islam dan kaum muslimin.

Ketika Rasulullah SAW Hadir

Majelis yang berkah ditandai dengan kuatnya keinginan jama’ah untuk selalu hadir dan mendapatkan ilmu.

Pengajian Habib Abubakar bi Hasan Alatas merupakan pengajian yang cukup fenomenal di kota Depok. Pengajian yang rutinnya, yang diadakan setiap hari Ahad sore yang berlokasi di kediamannya, Jln Karya Bakti, Tanah Baru, selalu dihadiri ribuan jama’ah. Tanpa poster dan spanduk, hanya dari mulut ke mulut, tapi pengikutnya hampir semua usia dari wilayah Jabodetabek.

Habib Abubakar bin Hasan Alatas, yang telah 30 tahun berdakwah dari satu kota ke kota lain hampir di seluruh wilayah Indonesia, adalah habib senior yang disegani. Kiprahnya di wilayah Tanah Baru, kota Depok, baru dimulai setahun yang lalu dan langsung menjadi berkah bagi warga Tanah Baru.

Orang-orang dhuafa’ yang berada di sekitar tempat tinggal Habib Abubakar langsung merasakannya, mereka mendapat kemudahan dalam hal pengobatan dan bantuan modal usaha. Roda ekonomi penduduk langsung berdenyut karena setiap pengajian dibutuhkan sekian puluh ribu konsumsi yang semuanya dipesan dari para tetangga.

Pada Ahad 5 Juni yang lalu, dilakukan penutupan majelis, karena Habib Abubakar akan pergi ke Ternate dan daerah binaan lainnya yang tersebar di Indonesia Timur. Suasana berlangsung haru, Habib Abubakar minta dimaafkan dan didoakan agar perjalanannya ke Indonesia Timur diberkahi dan dilindungi oleh Allah SWT. Satu per satu jama’ah diberi kesempatan bersalaman.

Penutupan majelis pada sore hari itu memang dipenuhi dengan kesyahduan dan nuansa kehilangan. Ia pernah berucap, majelis yang selalu dirindui oleh jama’ahnya berarti Rasulullah SAW selalu hadir di majelis tersebut.

Ikhlas untuk Mengaji

Hampir setiap Ahad sore, seluruh peserta pengajian dengan khidmat dan tekun mendengarkan uraian yang disampaikan oleh Habib Abubakar. Ia menggunakan kitab tasawuf karangan gurunya, Habib Zain bin Smith, dan sudah dua kitab dikhatamkan.

Putranya, Habib Hasan bin Abubakar, membacakan kitab tersebut lalu ia menjelaskan paragraf demi paragraf.

Sebelum pembahasan kitab, diadakan taushiyah, yang secara bergiliran disampaikan oleh tiga atau empat ulama kota Depok. K.H. Abdurrahman Nawi, pemimpin Pesantren Al-Awwabin, juga sering memberikan taushiyah. Begitu juga K.H. Zainuddin, pemimpin Pesantren Al-Hamidiyah.

Dalam salah satu kesempatan Habib Abubakar pernah menguraikan ciri-ciri majelis yang berkah. Salah satunya, pesertanya merasa rindu akan datangnya hari digelarnya pengajian majelis tersebut. Sebagaimana dialami Ibu Anis, salah seorang murid Habib Abubakar, yang istiqamah mengaji, “Kita ingin saja agar cepat waktu ta’lim datang.” 

Keberkahan majelis juga dapat dilihat dengan begitu senangnya orang-orang datang dari berbagai penjuru, para tetangga dan aparat juga merasa senang melihat kampung mereka ramai didatangi orang, suara dzikir dan pujian kepada Allah SWT dan Rasulullah SAW bergema setiap saat.

Habib Abubakar tak pernah mempublikasikan atau membuat poster dan spanduk ihwal pengajiannya, karena ia yakin bahwa Allah SWT akan menggerakkan hati setiap orang yang ikhlas untuk mengaji.
Rendah hati dan tidak mau menonjol, itulah ciri Habib Abubakar, yang sudah kenyang dengan asam garam perjuangan dan cobaan dakwah.

Ketika alKisah membujuknya untuk melakukan wawancara khusus, ia menolak, dengan alasan tidak ingin menonjol. Tapi, karena pengalaman dakwah, keilmuan, dan ketokohannya begitu penting untuk diketahui umat, agar bisa dijadikan teladan dan pelajaran yang berharga, insya Allah, ke depannya Habib Abubakar bersedia diwawancarai.

Bermula dari Ujung Timur
Dalam suatu kesempatan setelah menguraikan beberapa keutamaan silsilah Baginda Rasulullah SAW, yang nasabnya sangat dijaga oleh Allah SWT, Habib Abubakar mengisahkan betapa ia digembleng begitu keras oleh orangtuanya untuk taat kepada aturan agama.

Kisahnya, Habib Abubakar, yang menuntut ilmu di tiga kota, yaitu Makkah, Tarim, dan Kairo, ketika kecil pernah mendapat uang di tengah jalan.

Sebagai anak kecil, ia merasa senang, karena dapat uang, yang mungkin tercecer. Lalu ia membeli makanan kesukaannya.

Sesampai di rumah, hal itu ia ceritakan kepada uminya.

Uminya marah besar, “Tak pantas jasadmu menerima barang yang tak jelas.”

Uminya mengganti uang yang didapat itu dan menyuruhnya menempatkan di mana ia menemukan sebelumnya.

Begitulah, dalam keluarga ia dididik dengan sebaik-baik didikan.

Habib Abubakar mengingatkan, barang yang meragukan (syubhat) saja, kita harus hati-hati, apalagi yang haram.

Setelah menuntut ilmu di Timur Tengah, Habib Abubakar memulai dakwah di daerah yang keras dan penuh tantangan, yaitu Papua. Tidak sedikit ujian, tantangan, dan ancaman yang diterimanya.
Lima tahun di Papua, ia pindah ke Ternate.

Setelah sekitar lima atau enam tahun, ia melanjutkan dakwah ke Ambon, Morotai, lalu pindah ke Makassar, kemudian menyeberang ke Kalimantan, Banjar.

Tak pelak lagi, di kawasan timur Indonesia nama Habib Abubakar sangat disegani dan disayangi.
Sebelum menetap di Tanah Baru, kota Depok, ia berdakwah di Surabaya.

Pada penutupan majelis hari Ahad, salah seorang muridnya, Habib Muhammad Assegaf, memimpin pembacaan Maulid Simthud Durar, ratusan muridnya khusus terbang dari Sulawesi, Kalimantan, dan Jawa Timur, untuk menghadiri majelisnya. Dan tidak sedikit pula pejabat kota Depok, sipil dan militer, hadir di majelis tersebut.

K.H. Abdurrahman Nawi, yang menyampaikan taushiyah, mendoakan agar kepergian Habib Abubakar ke Ternate dan sekitarnya, kelak pulangnya bisa membawa bekal yang lebih banyak dan berkah bagi warga Depok. Ia mensyukuri, warga Depok mendapatkan guru yang sangat dalam ilmunya dan terpuji akhlaqnya serta teruji komitmen dakwahnya. “Mari kita berdoa dan memohon kepada Allah SWT agar beliau selalu dijaga oleh Allah SWT dan pulang kembali ke Depok dengan selamat untuk terus menularkan ilmunya kepada warga Depok, yang sangat membutuhkan seorang guru besar seperti beliau,” ujar Kiai Abdurrahman Nawi dengan suara bergetar.

Tidak sedikit jamaah ta’lim yang menangis terharu ketika bersalaman dengan Habib Abubakar, mereka akan ditinggal dalam waktu yang cukup lama, karena majelis baru akan dibuka lagi pada 11 September 2011.