Jumat, 27 Mei 2011

Menjadi Manusia “Berihram”

Judul: Serasa Berihram Terus
Pengarang: Nur Hidayat
Penerbit: Republika, Jakarta, 2009
Tebal: (X) + 300 halaman
Seyogianya kita mampu terus “mengenakan ihram” dalam kehidupan sehari-hari sepulang dari Tanah Suci.

Memasuki bulan Dzulqa’dah, ribuan jama’ah haji dari berbagai penjuru dunia berbondong-bondong mendatangi kota suci Makkah. Jumlahnya dari tahun ke tahun meningkat. Begitu juga dengan daftar tungggu, tak pernah mengalami penurunan.
Ibadah haji adalah salah satu ibadah yang menunjukkan keagungan Sang Pencipta. Melaksanakan ibadah haji haruslah dengan niat ikhlas, semata karena-Nya. Bukan karena ingin pamer kepada orang lain, atau untuk menunjukkan status sosial kepada masyarakat sekitar. Serangkaian ritus mesti diindahkan dalam menunaikan ibadah nan agung itu. Termasuk dalam hal busana.

Simbol Kesederhanaan Dalam berhaji, umat Islam diwajibkan mengenakan kain ihram. Ihram, satu-satunya busana yang boleh disandang, adalah dua potong kain berwarna putih, tanpa jahitan, apalagi aksesori.
Ihram mengandung banyak makna. Di antaranya kebersahajaan. Tanpa ada maksud untuk menonjolkan diri sendiri, apalagi terkesan mewah.
Dewasa ini, kesederhanaan menjadi sesuatu yang mungkin sulit ditemukan. Siapa yang mau tampil dengan bersahaja, sebagai suatu pengejawantahan sikap atau jalan hidup sehari-hari, secara konsisten? Tak mau menonjol, terlihat eksklusif, beremewah-mewah, dan mahal?
Dapatkah kita tetap menjadi manusia “berihram” sepulang dari Tanah Suci? Seyogianya kita mampu terus “mengenakan ihram” dalam kehidupan sehari-hari. Mendawamkan kebiasaan-kebiasaan baik yang dilaksanakan saat berada di rumah-Nya dengan hati yang bersih sebagai hamba-Nya. Sebagai manusia yang dhaif, kita harus terus berusaha menjadi lebih baik.
Masih banyak lagi formula hikmah dalam buku ini. Semoga kita dapat mengambil pelajaran darinya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar